blog counter






  • Asongan Kebab : Suze Marie
  • Tukang Jagung Brondong : Ida
  • Juru Sobek Karcis : Yuli Bean
  • Centeng : Sitorus
  • Petugas Kebersihan : Mina





  • Bioskop Ferina
  • Bioskop Panas!
  • Bioskop Reygreena




  • Blogger

    FinalSense

    Amazon

    Yahoo

    Ebay



  • Loket 1 : Antie
  • Loket 2 : Jody
  • Loket 3 : Kobo
  • Loket 4 : Perca
  • Loket 5 : Qyu
  • Loket 6 : Tanzil
  • Calo Tiket





  • RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (2012)

    MAMA CAKE (2012)

    THE AMAZING SPIDER-MAN (2012) Marc Webb  A...

    LEWAT DJAM MALAM (1954)

    SANG PENARI

    SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN (2012)

    SOEGIJA (2012)

    DI TIMUR MATAHARI (2012)

    Emak Ingin Naik Haji

    Inkheart





    Juni 2007 Juli 2007 Agustus 2007 September 2007 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 November 2009 Juni 2012 Juli 2012 September 2012







    Sabtu, 30 Juni 2007
    AFTER THIS OUR EXILE

    Sutradara: Patrick Tam
    Cast: Aaron Kwok, Charlie Yeung, Ian Iskandar Gouw, Kelly Lin, dll
    Produksi: 2006, DVD: 2007



    HILANGNYA KEINDAHAN MASA KANAK-KANAK



    Setelah dunia perfilman Hong Kong mengalami masa-masa suram, film yang diproduksi para sineas Hong Kong kontan berubah. Sekarang, jika kita menonton film Hong Kong, kita akan menemukan film-film yang digarap lebih baik, dengan cerita yang lebih bagus dan beberapa di antaranya hadir dengan sangat mengesankan. Salah satu di antaranya adalah After This Our Exile, sebuah film drama terpuji dengan nilai artistik yang tinggi. Film yang diedarkan Desember 2006 dan pada tahun 2007 ditabalkan sebagai Film Terbaik Golden Horse Award ke-43 menganugerahkan Best Actor untuk Aaron Kwok dan Best Supporting Actor untuk aktor anak-anak keturunan Indonesia, Ian Iskandar Gouw (Ng King-to). Selain tampil di beberapa festival film dunia, film ini juga mendapatkan penghargaan sebagai Film Asia Terbaik dari Tokyo International Film Festival.

    Setelah menikah dan memiliki satu anak laki-laki, Chow Cheung-sheng (Aaron Kwok), menjadi seorang lelaki berangasan yang senang berjudi. Hal ini membuat jera istrinya, Lee Yuk-lin (Charlie Yeung). Lee Yuk-lin berniat meninggalkan keluarga untuk memperbaiki hidupnya sendiri dan menerima pinangan seorang lelaki lain (juga diperankan Aaron Kwok dalam versi modis).

    Saat pertama kali mencoba minggat, ketahuan Lok Yun (Ian Iskandar Gouw) -anaknya, yang segera melaporkan kepada ayahnya. Maksudnya tentu saja untuk mencegah ibunya pergi. Niat istrinya ini membuat kemarahan Chow Cheung-sheng menjulang. Kali ini, dengan menggunakan sedikit kekerasan fisik, ia berhasil mencegah istrinya pergi.

    Tapi Lee Yuk-lin yang telah menemukan tambatan hati lain ini tetap mencari kesempatan, dan ketika kesempatan datang, ia menghilang selamanya dari kehidupan suami dan anaknya.

    Utang judi membuat Chow Cheung-sheng memutuskan untuk meninggalkan rumahnya. Ia kehilangan pekerjaan dan dikejar-kejar debt-collector. Saat bingung tak punya uang, ia memaksa Lok Yun untuk mencuri. Lok Yun memang sudah pernah mencuri arloji milik ayah teman sekolahnya, secara impulsif, gara-gara tidak bisa bayar langganan bis sekolah. Tindakan pencurian yang tak direncanakan itu telah membuat Lok Yun merasa ketakutan dan sangat berdosa. Makanya ia tak bisa melakukan pencurian sesuai suruhan ayahnya. Tapi karena dipaksa, ia menyusup ke rumah orang, kepergok, dan dipukuli habis-habisan. Ayahnya meninggalkannya dalam keadaan hampir mati dan membiarkan ia digiring ke pusat rehabilitasi anak-anak nakal.

    Sesungguhnya Lok Yun sangat mencintai ayahnya. Tapi ia tidak bisa memahami tindakan ayahnya, menyiksa ibunya dan terakhir memaksanya untuk mencuri. Ketika ayahnya mengunjunginya di pusat rehabilitasi, ia tidak menanggapi semua perkataan ayahnya yang penuh penyesalan. Ia hanya sekali memandang wajah ayahnya, kemudian menunduk. Saat akhirnya ia benar-benar mengangkat kepalanya, ia melakukan sesuatu yang tidak akan ia, juga ayahnya, lupakan seumur hidup.

    Mungkin film ini tidak akan menjadi favorit semua penonton, apalagi untuk penonton yang lebih suka film aksi atau genre film lain yang mengandalkan efek-efek khusus. Tapi akan menjadi kesayangan penonton yang menyukai drama-drama kehidupan yang lirih, membumi dan berkualitas. Jenis kehidupan yang ditawarkan dalam film ini sama sekali tidak asing, bisa saja terjadi dalam kehidupan kita, atau kehidupan tetangga kita, atau kehidupan orang lain yang kita kenal.

    Performa Aaron Kwok sebagai lelaki berangasan yang sama sekali jauh berbeda dengan penampilan-penampilannya sebagai pretty boy pada masa kejayaan perfilman Hong Kong, terkesan sangat kuat dan hidup. Pada beberapa adegan aktingnya terasa sangat menjengkelkan, memuakkan, tapi juga mendatangkan rasa iba, apalagi didukung oleh gestur dan ekspresi wajah yang pas. Tak heran, berkat perannya ini, lagi-lagi, setelah tahun sebelumnya menggondol Best Actor, ia memperoleh penghargaan yang sama dari Golden Horse Award.

    Ian Iskandar Gouw, tidak saja berparas manis dan tanpa dosa. Tapi penampilannya sangat bagus dan memiliki kadar penjiwaan yang menyentuh hati. Ekspresi wajah untuk melukiskan perasaannya kerap membuat saya berkaca-kaca. Penghargaan Golden Horse Award -sebagai aktor termuda yang pernah meraih penghargaan dalam sejarah Golden Horse Award- untuk dirinya benar-benar sangat layak.

    Kerja keras sang sutradara, Patrick Tam, untuk menghasilkan film yang rupanya menggunakan seting sebuah tempat di Malaysia ini tentu saja tidak bisa diabaikan. Sayangnya, ia belum mendapatkan penghargaan apa-apa. Agak aneh sebenarnya, meski sering terjadi di berbagai festival film, film dikukuhkan sebagai film terbaik, tapi sutradaranya tidak.


    Kembali ke film....

    Sepuluh tahun kemudian, setelah terakhir bertemu, Lok Yun telah tumbuh remaja (Tsui Ting Yau). Ia ingin membenahi kekeliruan yang pernah ia lakukan di masa kanak-kanak. Ketika ia berdiri di pinggir sebuah danau, tempat ia pernah melihat bintang-bintang di langit dengan ayahnya suatu ketika di masa kecilnya, ia melihat ayahnya sedang berjalan-jalan di seberang danau dengan seorang perempuan yang tengah hamil. Ayahnya memang telah menikah lagi.

    Ia hanya memandang ayahnya dari kejauhan. Dan tak tertahankan lagi, matanya berkaca-kaca. Jalan kehidupan mereka telah berbeda, sejak malam menakutkan itu, ketika cinta pada ayahnya bertempur dengan kata hatinya yang sebening kaca, dan ia kehilangan keindahan masa kanak-kanaknya.

    Label: ,

    Kamis, 28 Juni 2007
    Malang Benar Nasibmu, Arie!

    Judul : Arie Hanggara
    Sutradara : Frank Rorimpandey
    Pemain : Deddy Mizwar, Yan Cherry Budiono, Joice Erna, dll.
    Skenario : Arswendo Atmowiloto
    Produksi : PT Manggala Perkasa Film & Tobali Indah Film
    Tahun : 1985





    Film Arie Hanggara
    (1985) yang disutradarai Frank Rorimpandey, menurut data yang ditulis di belakang CD-nya, adalah kisah yang diputar dengan sorot balik. Maksudnya, prosesi penguburan dan pengadilan bapaknya si Ari dulu ditampilkan, baru menyusul cerita bagaimana rangsang penyiksaan Ari lewat adegan rekonstruksi.

    Tahu apa yang terjadi saat saya menonton film itu sewaktu saya duduk di kelas dua SD di bioskop tua kampung saya terjauh sana? Saya nyaris tak menikmati film ini. Maksudnya menangis ria berjamaah bersama penonton yang lainnya. Saya bingung dan kebingungan itu terus mengganjal di setiap pergantian rol. Saya menggerutu jangan-jangan pembawa rol film ini—yang biasanya naik film jenis enduro kayak motor balapan—salah ngambil karena pingin cepat-cepat atau ceroboh. Soalnya, mosok dikubur mati dulu baru ada penyiksaan. Yang benar kan ya disiksa dulu baru mati. Iya kan?

    Hingga saya dapatkan CD film ini di Glodok Jakarta di sebuah kios penjual khusus CD-CD film jadul Indonesia (kios itu kini sudah raib dan diganti kios film-film pendek atau sekeping). Di situlah baru saya tahu bahwa ada yang namanya alur sorot balik. Jadi saudara, sampai umur saya 27 tahun saya terus dibuntuti kebingungan. Katrok nggak itu.

    Padahal kata orang-orang ahli, film yang diproduksi pada 1985 ini bagus. Buktinya aktor terbaik untuk Piala Citra FFI 1985 disabet Dedy Mizwar yang berperan sebagai Tino Ridwan, ayah Arie Hanggara. Untuk musik yang digarap Idris Sardi dan skenario yang ditulis Arswendo Atmowiloto juga dapat Citra. Sementara pada Piala Kartini 1986 penghargaan untuk Pemeran Anak-Anak Terbaik jatuh di tangan Yan Cherry Budiono yang berperan sebagai Arie Hanggara.

    Film ini diambil dari kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya seorang bocah 8 tahun akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa meliput penuh gempita kabar ini. Wajar kemudian ketika difilmkan, Arie Hanggara menjadi film juara satu untuk penonton terbanyak. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekira 382.708.

    Film ini memang menguras airmata—walau pertama kali nonton saya tidak. Berkisah tentang seorang penganggur kelas berat bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Bangun selalu siang, tukang janji kelas kakap, dan pembuat anak yang kuat. Sampai-sampai saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai pejantan yang hanya kuat membuat anak. Bayangkan anak-anaknya Cuma selisih setahun. Selama lima tahun pekerjaan utama istrinya adalah bunting.

    Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan jaim yang tinggi, sementara Jakarta meminta terlalu banyak, bersiteganglah si Tino ini dengan istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna). Ceritanya dua orang ini kumpul kebo.

    Di rumah kontrakan kecil ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi (tertua), Arie, dan Andi (si kecil).

    Dasar memang laki-laki bergaya parlente, jaim tinggi, dan ngomongnya selalu muluk-muluk kayak pegawai kantoran bergaji tinggi, dia cuma lantang-lantung aja di rumah. Untung Santi memiliki pekerjaan. Untuk menopang kegengsiannya, uang Santi pun dibelikannya mobil rombengan dengan tangan tetap menengadah untuk beli bensin dan onderdil. Lama-lama Santi sebel juga punya pacar seperti ini. Kalau Santi lagi menghitung penghasilannya di meja makan, si Tino ini uring-uringan saja di samping Santi sambil nunggu uang sisa.

    Si Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Tapi bagaimana lagi. Dia kan malu. Teman-temannya sudah bekerja semua. Tak kuat nanggapi omelan pacarnya, dia pun sehabis ngantar istri ke kantor, dia lamar kerja di sana dan di sini. Tapi nggak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.

    Heh, apa nggak stres begini. Pacar udah mulai cerewet, kerja nggak ketemu juga, anak-anak di rumah kian bandel saja. Si Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus diatur. Tapi Arie Hanggara, si anak kedua ini, selalu membandel dengan aturan ini. Wajah si Yan Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.

    Tino si penganggur heroik ini sebetulnya sayang juga sama anak ini. Santi juga nggak kejam-kejam amat. Namun itu tadi dia mulai cerewet dan nyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anak yang diproduksinya dengan seksama. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino tak sudah-sudah memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal.

    Eh, Arie Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awal dipukuli, si Arie ini masih mengaduh, tapi lama-lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Apalagi sehabis penghukuman, bersenandung instrumentalia murung Idris Sardi menemani Arie belajar dalam gelap.

    Lantaran takut melanggar, Arie sering berbohong. Dipukul lagi. Sampai-sampai kepala sekolah Arie, Bu Khodijah (Mien Brodjo), marah besar, geram dengan si Tino penganggur melihat wajah Arie lebam2 karena ditampar....

    Berkali-kali si ibu kepsek ini memperingati si Tino jangan terlalu jaga gengsi yang pada akhirnya menghancurkan anak sendiri. Tapi dasar si Tino... no no... pengangggur katrok. Nggak mudeng-mudeng. Gengsinya aja tinggi, kantongnya cekak. Dia itu jalannya petentang-petenteng. Anak-nya tahu bahwa dia itu bos... Lha setiap pagi ngantar pacarnya ke kantor dengan pantolan necis, bersih, dan bekas setrika yg lancip-lancip. Tak tahunya ia itu sopir pribadi si Santi...

    Di sekolah, si Ari jadi pendiam, asosial, dan jadi senang ngincar dompet teman-temannya. Ya, kayak si Nagabonar satu-lah. Nggak jauh-jauh. Maka jadi bulan-bulananlah dia. Kena gampar, tubuh tripleksnya terlempar-lempar.

    Peran si Santi di sini tidak seperti ibu tiri yang dipandang sebagai iblis. Tak tega juga dia lihat Arie dipukuli si Tino penganggur darurat ini di hadapannya. Dia tak keras-keras amat. Hanya bebebrapa kali menggertak, menjambak, dan juga memukul... hehhehe sama saja ya.

    Karena merasa “sakit prilaku” Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD Negeri, Tino pun berencana membawa si Ari ke pesanntren di Jawa Timur. Nggak disebut sih apa ke pesantren Tebu Ireng di Jombang atau Tambak Beras tempatnya para gus itu bernaung dan bersarung....

    Tapi sayang sebelum dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya. Tapi Arie ngaku bahwa dialah yang melakukannya. Ini anak memang sudah adiktif dengan pukulan. Bahkan dia minta digantung saja atau tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Itu kata-kata si Arie sendiri. Coba, mau bilang apa kalau sudah begini.

    Saat kedua tangan dan kedua kaki si Arie diikat Tino, Santi kaget sekali. Arie, Arie kasihan amat lu jadi anak. Tapi gimana lagi cara menghadapi Tino si penganggur itu yang selera olahraganya sangat tinggi, seperti boling.

    Adegan kaki dan tangan Arie diikat itulah yang selalu saya dan orang-orang yang pernah menonton Arie Hanggara selalu terkenang. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain memberinya makan diam-diam.

    Saat sore, Arie sudah dimaafkan Tino. Tali dilepas. Tino bertanya: "Tahu kenapa Arie mau dimasukkan ke pesantren?” Arie dengan enteng menjawab: "Tahuuuu. Karna Arie suka nakal, suka mencuri, berbohong, suka mencuri lagi, sekali lagi, sekali lagi... mencuri lagi mencuri terusssss."

    Tugas Arie di hari kedua sebelum kematian adalah mbersihin kamar mandi. Tapi Arie malas-malasan. Namanya saja anak kecil, ya dia mainlah kerjanya di kamar mandi. Main percik-percik air. Kan asyik tuh. Uh, marahnya ini pendekar penganggur. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Ndongak. Seperti nantang. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke pantat. Pukulan kayak gini enteng aja bagi Arie. Dihukumlah anak ini berdiri jongok. Disuruh ngitung 300-an kali.

    Saat-saat menjalani hukuman begini, melintas musik sedih Idris Sardi yang mengalunkan senandung yang bisa-bisa meruntuhkan bendungan mata airmata. Kakak dan adiknya melihat Arie yang terhuyung-huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit. Tatkala mereka menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun terjadi.

    Pada 7 November 1984, si Tino pengangguran ini ketemu teman-temannya penjudi dan pemabuk. Maklum frustrasi ndaftar kerja, nggak dapet-dapet, mendaratlah dia di sini. Apa boleh buat. Frustrasi betul ia. Nggak ada kerjaan, istri sering ngomel karena jobless-nya ini, dan Arie tetap saja tak mau tunduk aturan...

    Si Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih manis menasihati Arie untuk minta maaf saja sama si Tino penganggur dan sekarang pemabuk itu. Tapi Arie tak melakukannya, malah dibilangnya sama ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah tangan si Santi yang mendorong Arie ke dinding. Nggak sampe jatuh kok.

    "Arie, besok kita akan berangkat. Sekali ini Papa minta agar Arie jadi anak yang baik. Nah, malam ini Papa ingin melihat Arie minta maaf sama Papa dan Mama," pinta Tino sepulang dari mabok di malam jahanam itu.

    Namun apa jawabnya? "Pukul Arie sajalah, Pa. Arie kan nakal," katanya sambil garuk-garuk kepala. Coba, sudah pulang membawa sisa mabok, menghadapi anak yang dikira malam itu baik, eh malah minta dipukulin.

    "Ariiiii!" uh gusarnya si Tino ini. Disuruh berdiri jongkok sambil ngitung pun, Arie tetap saja membandel. Coba dengar caranya mengitung: "Satu lagi, dua lagi, tiga lagi, empat lagi....20 lagi... 30 lagi... 100 lagi... 200 lagi... 300 lagi"

    Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak malang ini. "Yang benar, Arie!" raungnya sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan... Mata Arie yang lebam kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah si Tino yang nggak ketulungan ini. Anak ini nggak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan terjungkallah ia ke lantai. Belum mati. Lalu si Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi Tino mengancam, setelah dia diberi minum, nggak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.

    Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya di dengar oleh Tino. Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini, harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Tak ada teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya sudah tak bernyawa.

    Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah airmata melihat Arie terbujur kaku di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu meninggal di dinding penghukumannya. Huh... apa nggak nangis melihat adegan ini. Lalu musik pilu itu mengalun dan bergetar.

    Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah korban dari perceraian orang tuanya. Nah, adegan di RS ketika Tino, Santi, dan istri pertamanya bertemu. Di situ ada juga ibu kepsek, Khodijah. Tino dan istri pertamanya bertengkar. Saya ingat betul kata-kata ibu kepsek ini yang disampaikan dengan derai airmata: "Kenapa kalian bertengkar. Apa kalau bertengkar bisa menghidupkan kembali Arie. Buat apa... buat apa...Kematian Arie karena ulah kalian semua. Semasa dia hidup kalian bertengkar dan bahkan ketika dia membujur jadi jenazah kalian masih juga bertengkar. Di mana perasaan dan naluri kalian sebagai orangtua kandung Arie. Apa nggak bisa kalian berdamai sejenak untuk melepasnya."

    Mata Tino setelah itu sembab. Mata Tina si ibu kandung juga sembab, mata Santi si ibu tiri juga sembab, mata ibu kepala sekolah nggak usah dibilang, mata bapaknya si Frengki (Zainal Abidin) yang teman Arie juga memerah. Termasuk matanya Gus Muh juga berkaca dengan hidung mengisak selumer cairan (yang ini kemungkinan tertulari flu si Zen Rahmat Soegito yang sudah dua minggu nggak sembuh2 dan menyebarkan virus buruk itu kepada orang seisi kantor).

    Saya memang terpaku. Memori dihantar melintas bertahun-tahun silam di mana waktu kejadian ini saya masih kelas tiga SD Inpres. Walau di layar sudah ada keterangan bahwa film mau berhenti, saya belum mau beranjak. Bukan karena terlalu dilamun sedih, tapi memikirkan apa yang mesti ditulis setelah nonton film ini yang dipagari oleh aturan, jangan sampai nulis kayak resensi film di Kompas dan Tempo.

    Sekaligus saya sedang berenung, apa tak baiknya tanggal 8 November (1984) yang merupakan tanggal kematian Ari Hanggara diperingati sebagai Hari Perlindungan Anak dari petaka kekerasan. Bagaimana pun kematian Ari Hanggara adalah patok bagaimana anak-anak dianiaya dan tak bisa melawan kebrutalan orang-orang dewasa.

    Muhidin M. Dahlan
    Cross posting dari Bioskop Sebelah

    Label:

    Le temps qui reste (Time to Leave, 2005)

    Sutradara: François Ozon
    Pemain: Melvil Poupaud, Jeanne Moreau, Christian Sengewald, dll


    Ketika sedang melakukan pemotretan fesyen, Romain pingsan. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan jika fotografer ini mengidap kanker. Usianya tidak lagi bisa dipastikan, cepat atau lambat ia akan menemui ajal. Kemoterapi untuk memperpanjang usia tidak menjadi pilihan yang menarik buat Romain.

    Sayangnya, di dalam penantian kedatangan maut, ia tidak bisa terbuka kepada keluarganya, bahkan juga kekasihnya. Seolah tidak ingin membagi kesedihan, ia malah bertengkar dengan Sophie, adiknya, dan memutuskan hubungannya dengan Sasha, sang kekasih.

    Hanya kepada neneknya ia bersikap jujur. Alasannya, seperti dirinya, neneknya juga sebentar lagi akan menghadapi hal yang sama dengannya: kematian. Walau sangat menyayangi neneknya, harapan neneknya supaya ia menjalankan kemoterapi tetap tidak digubrisnya.

    Dalam perjalanan pergi-pulang ke pedesaan menemui neneknya, ia singgah di sebuah restoran milik sepasang suami istri muda. Si suami adalah seorang lelaki steril, padahal keluarga ini mendambakan kehadiran anak. Mereka menawarkan uang buat Romain jika ia bersedia memberikan anak bagi mereka.

    Romain menolak gagasan suami-istri ini. Mereka tidak tahu, Romain seorang gay. Tidak mungkin ia berhubungan dengan seorang perempuan. Apalagi mempunyai anak. Ia bukan tipe lelaki yang menyukai anak kecil.

    Tapi, ketika Romain melihat jam kehidupannya makin berkurang, ia menemui suami-istri itu. Ia bersedia menjadi ‘ayah’ untuk anak yang akan menjadi milik mereka.

    Apa sesungguhnya yang membuat ia mengubah pikirannya? Satu saja. Ia ingin mewariskan kekayaannya untuk anak yang tidak akan pernah dilihatnya.

    Le temps qui reste (Time to Leave) adalah sebuah film bernuansa muram karya sutradara Prancis François Ozon. Sebelumnya ia pernah mengarahkan film seperti Under the Sand (2000) dan Swimming Pool (2003) yang dibintangi aktris Charlotte Rampling. Dalam film ini, ia akan menuntun penonton ke dalam suasana hati yang suram dari si karakter utama, Romain. Dari seorang fotografer terkenal yang aktif dan gesit, lalu berubah menjadi lelaki depresi yang gentar menghadapi beratnya kenyataan. Perubahan suasana hatinya begitu terasa sehingga mempengaruhi penonton (baca: saya). Melvil Poupaud pemeran Romain menampilkan perfoma yang memikat sehingga layak jika ia mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik, yang antara lain diperolehnya dari Vallaoud International Film Festival. Dari seorang lelaki sehat bermetamorfosis menjadi lelaki sakit tergambar dengan baik, terutama dari tubuh yang berubah ringkih dan gestur yang menjadi lebih loyo.

    Tema penyakit yang mencabut kehidupan manusia sudah banyak digarap oleh para sineas dari berbagai negara. Mungkin karenanya, penulis cerita memberi sentuhan yang agak berbeda. Romain digambarkan sebagai lelaki gay yang hidup seapartemen dengan kekasihnya, Sasha. Hubungan mereka diketahui dan sudah dianggap biasa oleh keluarganya. Selain itu film ini tidak memberikan akhir yang melegakan. Permasalahan Romain dengan adiknya, tidak diselesaikan secara sempurna. Demikian juga hubungannya dengan Sasha. Setelah diputuskan, meski tetap mau menemui Romain, Sasha tidak menginginkan Romain lagi, ia menolak tawaran bercinta terakhir kali dari mantan teman hidupnya ini. Mungkin akan berbeda jika Sasha mengetahui apa sebenarnya yang membuat Romain menyakiti hatinya.

    Tapi di sinilah film ini memberi sengatan. Sampai debur ombak di penghujung film menghilang dari pendengaran, saya masih tetap merasakan dua perasaan yang mengendap: kesunyian dan kesepian. Persis seperti yang dirasakan Romain.

    Nikmati adegan ending yang terjadi di sebuah pantai:

    Senja menjelang, turun diam-diam. Semua orang di pantai itu mengangkat matras dan perlengkapan yang mereka bawa. Semua meninggalkan pantai. Mentari pelan-pelan tercelup ke dalam lautan, menyisakan sinar di tubuh Romain yang terkapar di atas sehelai handuk. Lalu tampak siluet tubuhnya, kaku bergeming.

    Dan terdengar debur ombak. Sunyi. Dan sepi.

    Rabu, 27 Juni 2007
    About Schmidt (2002)

    Sutradara Alexander Payne
    Skenario Alexander Payne (berdasarkan novel Louis Begley)
    Pemain Jack Nicholson dll.
    Tahun produksi : 2002



    Pernah tidak kalian sambil iseng membayang-bayangkan bagaimana kehidupan kita jika telah pensiun nanti? Saya pernah tuh. Bayangan saya agak mirip dengan yang dialami NH.Dini sekarang. Saya baca riwayat singkatnya di Kompas beberapa waktu lalu. Ia, NH.Dini, novelis terkenal itu, di masa pensiunnya memilih tinggal di sebuah panti jompo di Yogyakarta ketimbang menerima tawaran anak-anaknya untuk tinggal bersama mereka (satu di Kanada dan satunya lagi di Prancis, kalau tidak salah). Dini tidak ingin hari tuanya dihabiskan dengan menjadi beban orang lain, meski itu anak-anaknya sendiri. Menjadi tua untuk sebagian orang adalah sebuah bayangan yang menakutkan mungkin. Kita akan kembali sendiri dan kesepian. Anak-anak semua pergi meninggalkan rumah mencari kehidupannya sendiri. Kadang-kadang bahkan bertahun-tahun kita tidak dapat berjumpa dengan mereka karena beberapa alasan.

    Itulah yang dialami Warren Schmidt (Jack Nicholson) dalam film About Schmidt. Ia baru saja pensiun dari pekerjaannya di salah satu perusahaan asuransi terkenal di Amerika. Tidak lagi bekerja dan harus berdiam sepanjang hari di rumah hanya ditemani isterinya yang setia, Helen (June Squibb), membuatnya merasa amat kesepian. Apalagi tak lama kemudian Helen pun wafat. Sempurnalah kesunyiannya. Putrinya semata wayang, Jeannie (Hope Davis) juga tak bisa lagi tinggal bersamanya sebab telah menikah.

    Diperankan oleh Jack Nicholson, sosok Schmidt tampil nyaris sempurna sebagai lelaki yang kesepian di usia tuanya. Beberapa kali pengambilan gambar secara close up memperlihatkan mimik wajah serta perubahan air muka Schmidt yang menggambarkan perasaan hatinya yang sunyi. Hanya dengan menjentikkan alis matanya atau mengubah gerak bibirnya, kita telah menyaksikan sebuah akting yang memikat dari Nicholson. So, walaupun tokoh Schmidt mendominasi keseluruhan cerita yang bertempo lambat ini , kita tidak dibuat bosan karenanya. Nicholson benar-benar menjadi ruh film ini.

    Kisah yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Louis Begley ini membuat saya termenung, berpikir tentang masa tua saya kelak. Apakah saya juga akan mengalami rasa sepi dan sendiri seperti itu? Sedangkan mereka yang menikah dan punya banyak anak saja merasakan kesunyian itu, apalagi saya ya yang berniat melajang selamanya. Ah...tetapi barangkali saya malah tidak akan pernah sempat mengalami saat itu. Mungkin saja saya mati muda, iya toh? :)




    Selain itu, About Schmidt juga membuat saya jadi tersadar betapa saya selama ini mungkin telah mebiarkan orangtua saya merasa kesepian. Berangkat kerja pagi sekali dan baru kembali ketika mereka telah lelap. Waktu libur, saya lebih memilih menghabiskannya bersama teman-teman ketimbang menemani mereka ngobrol di rumah. Atau kalaupun di rumah saya lebih banyak tidur dan putar film. Alangkah pelitnya saya memberikan waktu bagi mereka. Saya janji deh, selanjutnya saya akan lebih banyak meluangkan waktu bersama mereka

    Endah Sulwesi

    Label: ,

    BABEL

    Film: Babel
    Sutradara: Alejandro González Inárritu

    Skenario: Guillermo Arriaga

    Ide cerita: Alejandro Gonzáles Inárritu & Guillermo Arriaga

    Pemain: Brad Pitt, Cate Blanchett, Adriana Barraza, Gael Garcia Bernal, Rinko Kikuchi

    Produksi: 2006

    Kisah Sebuah Senapan

    Di Maroko, Richard Jones (Brad Pitt) dan istrinya, Susan (Cate Blanchett) sedang mengikuti tur. Richard memilih tempat ini sebagai tujuan wisata hanya dengan alasan supaya mereka bisa sendiri, jauh dari anak-anak, Debbie (Elle Fanning) dan Mike (Nathan Gamble). Hubungan mereka memang sedang berada di ujung tanduk. Kematian salah satu anak mereka, Sammy, telah menodai ketenangan keluarga, menciptakan jurang di antara mereka.

    Saat bis yang mereka tumpangi melintasi daerah padang pasir dengan bukit-bukit batu, sebuah tembakan dari arah sebuah bukit memecahkan kaca jendela persis di sebelah Susan, dan melukainya. Terjadi kegemparan. Di daerah itu tidak ada rumah sakit dan tidak ada dokter. Sejauh mata memandang, hanya tampak ketandusan bentang alam.


    Yussef (Boubker Ait El Caid) dan abangnya, Ahmed (Said Tarchani) sedang belajar menggunakan senapan yang baru dibeli ayah mereka. Sebenarnya senapan itu dibeli dengan tujuan untuk menembak serigala yang memangsa kambing gembalaan kedua anak Maroko itu. Tapi sambil bermain-main mereka menjadikan sebuah bis yang lagi bergerak di jalan di bawah bukit sebagai sasaran tembak. Tembakan pertama, luncas. Tembakan kedua, bis berhenti. Kedua anak itu meninggalkan lokasi penembakan dengan ketakutan.

    Peristiwa tertembaknya warga Amerika di Maroko ini segera menarik perhatian dunia. Diduga, peristiwa penembakan Susan disebabkan oleh teroris, yang sesungguhnya menurut pemerintah, tidak ada lagi di Maroko.

    Di San Diego, Amerika Serikat, Amelia (Adriana Bazzara), penjaga Debbie dan Mike, sedang kebingungan. Ia mesti pergi ke Meksiko guna menghadiri perkawinan anak lelakinya, tapi tidak mendapatkan orang untuk menjaga kedua anak itu selama ia pergi. Amelia memutuskan membawa kedua anak itu ke Meksiko, dan langsung kembali setelah acara kawin berakhir. Mereka menumpang mobil yang dikemudikan Santiago (Gael Garcia Bernal) untuk perjalanan pergi-pulang Amerika Serikat-Meksiko. Dalam perjalanan pulang ke Amerika Serikat terjadi masalah di perbatasan. Tidak ada surat izin dari orang tua yang membolehkan Debbie dan Mike meninggalkan Amerika Serikat.

    Di Jepang, seorang gadis tunarungu, Chieko Wataya (Rinko Kikuchi), tumbuh liar dalam sebuah single parent family. Ibunya meninggal bunuh diri. Ayahnya, Yasujiro Wataya (Koji Yakusho), tampaknya terus berkubang dalam kesedihan. Chieko melebur dalam aktivitas teman-teman tunarungunya untuk mengusir kesepian, menggoda seorang dokter gigi secara seksual, keluar rumah tanpa mengenakan celana dalam, dan kecewa ketika cowok gebetan pelipur sepi lebih tertarik pada teman sesama tunarungu. Tak tahan ditikam kesepian, ia mengundang Kenji Mamiya (Satoshi Nikaido) -polisi yang pernah mencari ayahnya, datang ke apartemennya. Tujuannya tidak lain untuk memperdaya si polisi dengan keremajaan tubuhnya. Tapi umpannya tidak disambar sang polisi.

    Kisah berseting tiga benua ini - Amerika, Afrika, dan Asia, terdiri atas empat kisah yang dirangkai menjadi satu. Pertama, kisah sebuah keluarga Maroko peternak kambing, dengan tiga anak yang dua di antaranya laki-laki, dan satu di antara dua itu bertabiat nekat dan nakal. Kedua, Richard dan Susan yang menjadi turis di Maroko. Ketiga, Amelia, si penjaga anak berdarah Meksiko beserta kedua anak yang jadi tanggung jawabnya. Keempat, Chieko, si gadis Jepang yang terjebak dalam dunia tunarungunya.

    Begitu film bergulir, hubungan tiga kisah yang pertama segera bisa dipahami. Tapi yang keempat seolah-olah terlepas dari keseluruhan film. Belakangan baru terungkap apa yang menghubungkan kisah keempat tersebut dengan tiga yang lain. Sebuah senapan, itulah yang menjadi pengikat empat kisah dalam film ini yang uniknya para karakternya tidak pernah terperangkap dalam satu adegan.

    Teknik penceritaan yang digunakan Inárritu dalam film ini sebenarnya tidak tergolong baru. Film pertama yang saya tahu menggunakan teknik beberapa kisah berbeda yang kemudian dijalin menjadi satu seperti ini adalah Pulp Fiction garapan Quentin Tarantino. Teknik yang sama juga saya lihat antara lain dalam Crash (sutradara Paul Haggis) dan Antares (sutradara Gotz Spielman). Di Indonesia, Nia Dinata ikut-ikutan menggunakan teknik yang sama dalam Berbagi Suami. Sedangkan film Korea, untuk menyebutkan contoh, belum lama ini saya lihat digunakan sutradara Park Seong-Beom dalam Cheaters (My Girl’s Boy). Dua film Inárritu yang pernah saya tonton sebelumnya juga menggunakan teknik yang sama, yaitu Amores Perros dan 21 Grams. Yang agak membedakan cuma dari segi cerita, dalam Babel, para pelaku keempat kisah yang berhubungan itu tidak pernah dipertemukan dalam satu adegan. Mungkin teknik ini tidak menjadi istimewa lagi karena telah sering digarap, tapi masih tetap menarik perhatian banyak kalangan pencinta film (termasuk saya). Terbukti, juri Oscar meliriknya sebagai calon penerima gelar film terbaik tahun 2007, di samping 6 nominasi lain yaitu untuk penyutradaraan, best supporting actress untuk dua aktris, skenario, editing, dan orginal score (hasil akhir hanya original score dari Gustavo Santaolalla, yang menang). Festival film Cannes memberikan film ini Francois Chalais Award selain sutradara terbaik untuk Inárritu sedangkan Golden Globe menganugerahkan film terbaik untuk kategori drama.

    Secara keseluruhan cerita film ini cukup menarik. Para pemain juga bermain dengan baik dan wajar. Selain bintang Holywood, sesuai cerita, film ini juga menggunakan pemain dari Meksiko, Maroko, dan Jepang. Beberapa pemain dari Maroko bukan merupakan pemain film profesional.


    Sebagai penggemar Cate Blanchett, mau tak mau, saya tetap menyukai perannya di sini, yang mengimbangi performa yang cukup menarik dari Brad Pitt. Yang mengagetkan, selain Adriana Bazzara, Rinko Kikuchi juga dinominasikan untuk menerima Oscar sebagai Best Supporting Actress. Menurut saya permainannya memang bagus, tapi tidak sangat istimewa sehingga mesti masuk nominasi Oscar. Memang dalam film ini Rinko tidak tanggung-tanggung, ia terbilang berani tampil bugil dan menampakkan bagian vitalnya (ahaaa, sori) yang tak mengenakan celana dalam. Mungkin keberanian jenis ini telah berperan pada keputusan juri Oscar mengingat untuk keberanian seperti ini beberapa aktris sempat masuk nominasi Oscar, bahkan ada yang menang. Untuk menyebut contoh, Kate Winslet, Halle Berry, Julianne Moore, Hilary Swank, dan Holly Hunter.

    Selain akting para pemain, penonton juga akan diajak mengintip gaya pernikahan tradisi Meksiko, lanskap alam Maroko nan gersang, dan Tokyo yang modern dan serbakemilau. Semuanya difilmkan langsung di tempat-tempat yang disebutkan.


    Sesuai judulnya, Babel memang berkisah ihwal kepincangan dalam berkomunikasi dan kekacauan hidup manusia. Judul ini akan mengingatkan pada Babel dalam Alkitab, lambang kekacauan yang berawal dari gagalnya komunikasi. Jika mau dirunut, gagalnya komunikasi keluarga Jones telah membawa mereka ke Maroko, membuat Susan kena tembak, dan menyebabkan Amelia terpaksa membawa kedua anak keluarga ini ke Meksiko, dan di perbatasan terjadi (lagi) kegagalan komunikasi yang menciptakan kekacauan. Sementara itu, Chieko yang tunarungu mengalami kesulitan berkomunikasi, termasuk dengan ayahnya; karakter yang tanpa sadar telah memicu terjadinya efek kupu-kupu, dari lahan gersang Maroko ke hingar-bingar dunia politik internasional.

    Selasa, 26 Juni 2007
    BRIDGE TO TERABITHIA (2007)

    Pemain : AnnaSophia Robb, Josh Hutcherson, Zooey Deschanel, Lauren Clinton, Bailee Madison
    Sutradara : Gabor Csupo
    Produser : Alex Schwartz, Lauren A. Levine, David Paterson (II)
    Lama tayang : 1Jam 35 menit
    Tanggal rilis : 16 February , 2007 (wide)
    Distributor: Buena Vista Pictures Distribution







    Jess Aaron, seorang anak keluarga miskin, yang tinggal di tepi hutan kecil. Dia berambisi ingin menjadi pelari tercepat di sekolah. Jess punya 4 orang saudara perempuan, 2 kakaknya yang selalu berisik, adiknya Maybelle yang memujanya, dan si bayi. Jess juga sangat suka melukis.

    Di hari pertama sekolah, di kelasnya masuk seorang murid baru, perempuan pula, bernama Leslie. Penampilan Leslie lumayan urakan, untuk ukuran sekolah Jess. Lalu di waktu istirahat, anak-anak berkumpul untuk lomba lari, Leslie ingin bergabung. Suatu hal yang tak pernah dilakukan anak perempuan sebelumnya, selama ini, lomba lari waktu jam istirahat itu adalah milik anak laki-laki. Dan ternyata, Leslie berhasil mengalahkan semua anak laki-laki itu.

    Ternyata, Leslie tinggal di dekat rumah Jess. Dan sejak itu mereka bersahabat. Dua anak kesepian yang menemukan teman. Leslie mengajari Jess untuk menggunakan imajinasinya dalam bermain. Mereka menemukan sebuah tempat di hutan dekat tempat tinggal mereka, tempat yang harus mereka capai melewati sebuah kali kecil, dan kebetulan mereka juga menemukan seutas tambang tergantung, yang mereka gunakan sebagai ayunan untuk menyeberangi kali tersebut.

    Di tempat itu, mereka juga menemukan rongsokan mobil, dan akhirnya membuat rumah pohon sebagai markas kerajaan mereka, kerajaan Terabithia.

    Persahabatan mereka terjalin sangat erat. Jess dan Leslie selalu saling membantu di sekolah, mereka anak-anak yang tak populer sama sekali, tak punya banyak teman. Sementara itu, Jess juga tertarik pada guru musik mereka yang masih muda dan cantik.

    Hingga suatu hari sang guru mengajak Jess ke museum. Dan di hari itulah musibah itu terjadi.

    Ternyata Leslie nekat sendirian ke tempat bermain mereka, dan karena hujan yang deras, air sungai naik tinggi, dan Leslie terjatuh sewaktu mau menyeberang. Leslie meninggal tenggelam terbawa arus.

    Jess, sepulang dari berjalan-jalan ke museum, menemukan keluarganya sedang berduka, yang menyangka dirinya juga ikut bersama Leslie, dan belum ditemukan. Mendengar berita itu, Jess sangat marah. Dan akhirnya menyalahkan dirinya karena tak mengajak Leslie ke museum.

    Namun kesedihan Jess akhirnya diobati karena Maybelle, adik kesayangannya, yang selalu memujanya. Jess pun akhirnya membawa Maybelle memasuki Terabithia, menjadi putri penguasa wilayah fantatis peninggalan Leslie.




    Leslie Burke : Close your eyes, but keep your mind wide open
    Film ini diangkat dari novel remaja karya Katherine Patterson. Novel ini sendiri juga mendapat penghargaan Newberry Award tahun 1978. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Elex Media Komputindo tahun 2001.

    Banyak yang merasa kecewa karena mengira film ini adalah film fantasi seperti Narnia atau pun Harry Potter. Padahal, cerita ini merupakan salah satu cerita remaja yang sangat populer sebenarnya, hanya saja memang kalau di Indonesia, kurang terdengar gaungnya. Yah, memang kita tak menemukan aksi petualangan hebat, kisah fantasi luar biasa, ataupun anak-anak ajaib. Ini memang kisah biasa tentang persahabatan indah antara dua orang anak yang tersisih. Jess si anak miskin, dan Leslie, yang walau orangtuanya kaya, namun eksentrik, sehingga menyebabkan dirinya sering ditertawakan teman-temannya.



    Hanya satu yang kurang menonjol di film ini, yaitu hubungan erat Jess dengan adiknya Maybelle, karena sebenarnya, Maybelle adalah orang paling dekat dengannya di keluarga yang ramai dan miskin itu. Sebelum kedatangan Leslie, Maybelle adalah orang yang selalu menjadi teman bagi Jess.

    Di luar itu, film ini bagiku sih bagus. Aku suka dengan setting waktu yang disesuaikan ke masa sekarang. Manis sekali, mengingat novel ini sudah diterbitkan tahun 1977, dengan setting waktu di jaman itu, yang tentu saja situasinya sudah berbeda.

    Label: ,

    Senin, 25 Juni 2007
    THE KNOT



    Judul Film: THE KNOT
    Sutradara: Yin Li
    Pemeran: Chen Kun, Vivian Hsu, Li Bingbing, Steven Cheung, Isabella Leong, dll
    Produksi: 2006







    Lukisan Cinta Merah Darah


    One day when we were young
    One wonderful morning in May
    You told me you loved me

    When we were young one day


    Sweet songs of spring were sung

    And music was never so gay

    You told me you loved me

    When we were young one day


    Suara seorang lelaki muda yang sedang menyanyi terdengar di lantai atas sebuah rumah di Taibei. Ia berdiri di ambang pintu ruangan tempat seorang anak laki-laki tengah menggerayangi tuts-tuts piano. Sesekali sambil menyanyi ia menoleh ke luar ruangan. Seorang gadis manis, rambut dikepang dua, sedang melukis di luar. Sesekali sambil melukis ia menoleh ke arah si lelaki muda.
    ***

    Ia memandang lukisannya yang hampir usai. Lukisan gunung semburat kebiruan itu masih membutuhkan polesan. Sapuan warna putih untuk salju. Ia mengangkat kuasnya, lalu membubuhkan warna putih ke lukisan gunungnya. Saat cahaya siang singgah tepat di atas lukisan, lukisan itu tampak bertelau-telau.

    Sebentar lagi ia akan meninggalkan New York. Ia akan mengadakan pameran lukisan di berbagai kota di dunia. Hong Kong dan Shanghai telah menjadi tujuan berikutnya. Tapi, lukisan ini sepertinya masih memiliki kekurangan. Warna putih yang ia imbuhkan seakan-akan belum sesuai.

    Telepon berdering. Dari Hong Kong. Isabella, anak perempuan adiknya. Isabella berada di Hong Kong setelah meninggalkan pekerjaannya di Singapura. Isabella tengah melakukan riset untuk sebuah buku yang akan ditulisnya. THE KNOT, demikianlah judul yang telah direncanakan.

    Setelah selesai ngobrol dengan Isabella, ia terdiam. Perbincangan dengan keponakannya yang jelita tanpa tercegah membuka sumbat kenangan. Kenangan itu bergulir keluar dari benaknya, menggeliat lepas menuju Taibei (Taiwan) akhir tahun 1940-an. Ia melihat dirinya masih remaja, seorang gadis manis dengan rambut kepang dua.

    Suatu hari seorang pemuda bernama Chen Qiushui datang ke rumahnya untuk menjadi guru bahasa Inggris adiknya, Yumeng. Pemuda ini berasal dari Xiluo (Yunlin), sebuah daerah penghasil beras. Chen datang ke Taibei untuk kuliah kedokteran. Sambil kuliah Chen memberikan kursus bahasa Inggris untuk mendapatkan uang.


    Ia tahu, begitu mendengar suara, kemudian melihat wajah pemuda itu, ia jatuh cinta. Ia tahu juga, pemuda itu memiliki perasaan yang sama. Saking cintanya, ia pun membekukan wajah Chen dalam lukisan yang sampai saat ini selalu dibawa ke mana pun ia pergi.

    Ia ingat, saat itu dalam keluarga telah ada pembicaraan mengenai pernikahan. Tapi, Chen mesti meninggalkan Taiwan. Chen ternyata anggota kelompok sayap-kiri yang memberontak kepada pemerintah. Untuk menghindari penjara, Chen memutuskan pergi ke Cina Daratan.
    Pada malam perpisahan mereka, di tengah derasnya hujan dan air mata, ia menyelipkan cincin pertunangan ke jemari Chen. Ia mengatakan kepada kekasihnya bahwa ia akan menyusul ke Cina Daratan untuk masuk sekolah seni.

    Sayangnya, setelah malam itu, ia tidak pernah bertemu lagi dengan Chen. Sambil menjaga ibu Chen di Xilou, ia menunggu lalu mencari, sampai mengunjungi hampir semua penjara di Taiwan, mengira Chen telah tertangkap. Ia dibantu oleh seorang pemuda baik hati, penggugup, dan pemalu yang tidak pernah berhenti mencintainya, Xue Zilu.

    Ia ingat lagi, sesungguhnya setelah perang penantiannya telah berakhir. Sebuah kabar dari Tokyo telah memastikan nasib cinta mereka. Chen berada di Tibet. Ia, Wang Biyun, memang bisa mencapai Tibet, tapi tidak bisa mencapai Chen lagi.
    **

    Setelah meninggalkan Taiwan, Chen pergi ke Propinsi Fujian bagian selatan dan bergabung dengan gerilyawan komunis. Untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan pada keluarga dan teman-temannya, ia mengganti namanya menjadi Xu Qiuyun. Ia berhasil menyelesaikan sekolah kedokterannya di Cina. Pada saat perang Korea meletus, ia menjadi dokter tentara di Dipingli, Korea. Di sana ia bertemu dengan gadis petugas medis bernama Wang Jindi. Meski kentara Wang Jindi menginginkan cintanya, ia hanya mengganggap gadis itu sebagai adik. Nama Wang Biyun tidak mungkin tergeserkan dari hatinya.

    Usai perang Korea ia mencari Wang Biyun di sekolah seni menyangka kekasihnya telah berada di Cina Daratan. Ia menemukan jika Wang Biyun tidak pernah ke Cina Daratan. Ketika harapan seakan hilang, ia memutuskan menerima penugasan sebagai dokter tentara di Tibet.

    Suatu hari ia dikejutkan dengan berita kedatangan Wang Biyun. Merasa luar biasa bahagia, ia tidak bisa menahan diri, keliling rumah sakit mencari kekasihnya. Yang datang ternyata bukan kekasihnya tapi Wang Jindi yang telah mengubah namanya menjadi Wang Biyun. Kehadiran Wang Jindi meyakinkan Chen bahwa ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan kekasihnya. Wang Jindi bahkan mengatakan bahwa Biyun telah berada di surga.
    ***

    Ia memandang lukisan gunungnya sekali lagi.

    Selamanya, kekasihnya tidak pernah meninggalkan Tibet. Ia telah menikahi perempuan lain dan memiliki seorang anak laki-laki.

    Lukisan gunung semburat kebiruan itu bertelau-telau. Kabar dari Tokyo benar-benar telah membekukan hatinya, seperti gunung dalam lukisannya, lembab dan licin dengan serpihan salju.

    Untung si budiman Xue Xilu tidak pernah meninggalkannya. Xue selalu ada untuknya. Kebaikan lelaki ini mengantarnya pada keputusan untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Sayangnya, Xue Xilu harus meninggalkannya sebelum berdua menapak masa senja kehidupan. Suaminya mengidap leukimia.

    Ia sesenggukan. Air mata meleleh dari sudut-sudut matanya yang rabun. Ya, ia sudah tua sekarang. Waktu telah merampas cahaya matanya, hitam rambutnya, mulus kulitnya, dan kekuatan kakinya.

    Di atas kursi roda, ia memutuskan menyempurnakan lukisannya. Isabella, sang keponakan, telah menemukan akhir dari perjalanan riset bukunya. Demikian juga lukisan ini. Berakhir.

    Ia menggerakkan kursi roda. Lukisan gunung semburat kebiruan itu bertelau-telau. Saatnya untuk memberikan sapuan terakhir ke atas lukisannya.

    Ia mengangkat kuasnya, mengguratkan cat ke permukaan kanvas. Satu kali. Dua kali.
    Dan ia tercekat dalam keheningan. Mata terpaku pada lukisannya.

    Kekasihnya tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup lebih lama dari yang ia bayangkan. Suatu hari ia pergi ke gunung bersama istrinya untuk menolong pasien yang tinggal di sana. Dalam cuaca membekukan yang membuat perjalanan terasa berat, istrinya kewalahan. Tatkala menuruni gunung, ia mesti menggendong istrinya. Saat itulah terjadi badai salju yang dahsyat. Kekasihnya dan istrinya tewas tertimbun salju.
    ***

    Aku melihat kepalanya yang telah dikerumuni uban bergeming. Aku tak bergerak di tempat dudukku.

    Bersama-sama kami mengamati lukisannya. Sementara aku merasakan ada butiran hangat memecah di ujung kelopak mata, warna yang merebak dominan dalam lukisan itu jatuh di selaput pelangi mataku.

    Akan kukatakan padamu apa yang kulihat: sebuah lukisan berwarna merah darah.



    Juga di : http://percikanku.multiply.com (Promosi.....)


    Label: ,

    Kramer Vs Kramer



    Sutradara Robert BentonSkenario Robert Benton
    Pemain Dustin Hoffman, Meryl Streep, Justin Henry
    Tahun 1979











    Yang membuat saya malas banget nonton sinetron-sinetron kita sekarang adalah karena cerita yang tidak wajar dan akting para pemainnya yang 'memprihatinkan. Kadang-kadang hanya bermodal wajah cantik, bodi seksi dan nama beken. Mungkin sedikit sekali dari mereka yang benar-benar berangkat dari dunia akting. Maraknya stasiun TV swasta yang mengejar setoran barangkali salah satu penyebab banjirnya produksi sinetron yang terkesan asal jadi. Mereka, para pembuat sinetron itu, seperti kehabisan ide dan kreativitas dalam mencipta sehingga yang hadir lagi-lagi kisah tentang permusuhan mertua-menantu, cinta segitiga dengan segala intrik perebutan harta warisan (India sekaleeee...) atau yang lagi marak adalah sinetron misteri dan cinta anak SMA.

    Dulu, waktu jamannya Irwin Syah (Alm) atau Dedi Setiadi masih produktif, saya selalu menunggu-nunggu karya mereka. Atau kalau di dunia film layar lebar, sutradara favorit saya adalah Teguh Karya (Alm). Rasanya semua karyanya tidak ada yang 'buruk'. Ibunda, Usia 18, Di Balik Kelambu sampai Pacar Ketinggalan Kereta. Kekuatan film-film garapannya menurut saya adalah pada naskah yang mengambil kisah kehidupan sehari-hari di seputar kita, membuat kita serasa tak berjarak dengan adegan-adegan yang tampil di layar. Kita seperti menonton keseharian kita sendiri. Sangat membumi, begitu akrab, sedekat tetangga sebelah rumah. Terutama pada 'Ibunda' dengan aktris kesayangannya, Tuti Indra Malaon (alm)

    Menyaksikan Kramer Vs Kramer (Robert Benton), saya jadi ingat film-film Teguh Karya. Memenangi Academy Award sebagai film terbaik tahun 1979, Kramer Vs Kramer buat saya menjadi film yang selalu enak ditonton berulang kali (Saya sih baru menontonnya 5 kali). Ceritanya sederhana dan biasa-biasa saja, tentang suami isteri Kramer yang menghadapi masalah perceraian mereka. Dengan akting cemerlang dua bintang utamanya, Dustin Hoffman dan Meryl Streep, film drama ini tersaji indah dalam alur yang perlahan-lahan menanjak menuju konflik, baik konflik antara kedua tokohnya maupun konflik batin dalam diri tokoh-tokohnya itu.

    Ted Kramer (Dustin Hofman) adalah eksekutif muda di sebuah perusahaan iklan, digambarkan sebagai lelaki yang gila kerja, lebih sering menghabiskan waktunya di kantor ketimbang bersama istrinya, Joana Kramer (Meryl Streep) dan anak mereka berumur 6 tahun, Billy (justin Henry), meskipun tidak perlu diragukan, ia sangat mencintai keduanya. Keadaan tersebut berlangsung bertahun-tahun hingga pada suatu hari Joana merasa tidak tahan lagi dengan situasi rumah tangganya tersebut. Ia jenuh dengan perannya selama ini yang hanya sebagai ibu rumah tangga semata. Ia lalu memutuskan untuk meninggalkan Ted, suaminya itu.

    Kepergian Joana membuat Ted kelabakan. Ia, yang tidak biasa dengan pekerjaan domestik, tiba-tiba harus bisa melakukan semua pekerjaan yang selama ini merupakan pekerjaan istrinya itu. Ia mendadak harus merangkap peran ayah sekaligus ibu bagi Billy. Perubahan yang tak terduga itu mau tidak mau akhirnya mengganggu pekerjaan kantornya. Beberapa kali ia terlambat menghadiri pertemuan penting dengan klien perusahaan karena urusan rumah tangganya itu. Perusahaan tempatnya bekerja akhirnya tidak bisa terus-menerus bertoleransi dengan kondisinya itu. Ted dipecat. Sementara Joana justru mendapatkan pekerjaan.



    Lihat, betapa wajarnya permainan Hoffman dan Streep di film ini. Bagaimana mereka dengan piawainya memainkan peran itu sehingga walaupun telah lima kali menonton ulang film ini, saya masih saja terharu dan meneteskan air mata. Tak lupa juga si kecil Justin Henry yang dengan luar biasa mengimbangi akting keduanya. Maka jadilah Kramer Vs Kramer sebuah film drama yang amat menyentuh perasaan. Bagi yang belum sempat nonton film ini, coba deh nonton, pasti ketagihan seperti saya.

    Endah Sulwesi

    Label: ,

    Sabtu, 23 Juni 2007
    BETINA



    Judul Film : BETINA
    Sutradara: Lola Amaria
    Pemain: Kinaryosih, Tutie Kirana, Agastya Kandou, Subur Sukirman, dll
    Skenario: BE. Raisuli
    Produksi: 9 P@lm Pictures & TIT’S Film Workshop
    Tahun : 2006 (DVD, 2007)





    PSILOSIBIN DALAM HASRAT DAN CINTA


    Kenapa banyak kematian datang di sekitar cinta dan kerinduanku
    Aku melihat cinta dalam kematian itu
    Dan aku merindukanmu dengan kematian orang lain


    Sebagai orang Indonesia, menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya untuk menyaksikan film produksi domestik. Sayangnya, belakangan lebih banyak muncul film bertema remaja, yang dari segi cerita dan penggarapan masih kekurangan polesan. Film Indonesia yang sempat menarik perhatian saya antara lain Arisan! (Nia Dinata) 9 Naga (Rudy Soedjarwo), dan Belahan Jiwa (Sekar Ayu Asmara). Sebagai panduan utama bagi saya untuk menonton yang pasti adalah genre film itu sendiri. Dan bagi saya drama kemanusiaan, hubungan antar manusia, dan problematik kehidupan manusia menjadi pilihan utama. Film aksi misalnya, apalagi yang mengandalkan special effect, berangsur menghilang dari minat saya. Oleh karena itu film “Betina” menjadi wajib tonton bagi saya, meski hanya lewat DVD (produksi Cinekom), karena film ini memang tidak ditayangkan di bioskop-bioskop tanah air.

    Betina” diproduksi secara independen dan merupakan karya penyutradaraan perdana aktris Lola Amaria. Film ini mengusung tema kehidupan manusia yang dihadirkan sebagai sesuatu yang absurd. Tokoh-tokoh yang ada dalam film nyaris semuanya aneh, tapi jika dipikir-pikir sepertinya bisa eksis dan kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.


    Betina (Kinaryosih) adalah seorang gadis pemerah susu di pangkalan susu milik Mamang Otig. Ia seorang gadis berwajah cantik dan bertubuh molek. Tidak heran pria-pria di desanya (desa antah-berantah) mengagumi, bahkan mencoba melakukan hal-hal yang tidak pantas padanya.

    Betina tinggal dengan ibunya (Tutie Kirana) yang agak sinting setelah ayah Betina (Zairin Zain) diciduk dari rumah. Ayah Betina adalah seorang tentara yang telah menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam sebuah buku berjudul “NKRI Bukan Tuhan” yang dipandang sebagai tindakan subversif. Sepeninggal sang suami, ibu Betina tak pernah berhenti berharap lelakinya akan pulang ke rumah. Karenanya ia masih terus mencuci dan menyetrika seragam sang suami secara teratur dengan penuh kerinduan.


    Kepergian ayahnya yang tak kunjung kembali membuat Betina kehilangan figur lelaki. Hingga suatu hari, ia menemukan seorang lelaki yang dipikirnya ideal seperti ayahnya. Lelaki itu (Agastya Kandou) adalah seorang pemimpin prosesi pemakaman. Untuk melihat lelaki itu, Betina harus menunggu setiap kali di desanya terjadi kematian. Lelaki ini akan menuruni bukit dengan jubah putihnya yang aneh untuk menjemput para janda atau kerabat perempuan si mati.

    Pada saat itu beberapa orang tewas dibunuh. Antara lain Choky, bandar susu yang mencoba melecehkan Betina dan Otig, pemilik peternakan sapi yang mencoba memerkosa Betina. Pada saat keduanya hendak dikuburkan di pemakaman bukit dengan nisan berbentuk segitiga dan dipimpin oleh lelaki idaman Betina, para istri mengantar jenazah sambil menumpang pedati yang diikuti sejumlah orang berbusana sarung dan karung, berkalung piring seng, dan bertopi serok sampah. Salah satu bagian prosesi ini adalah para janda dijemput si pemimpin pemakaman, dan setelah jenazah dikuburkan akan berhubungan intim dengan si pemimpin pemakaman di kediamannya di tengah kuburan.

    Kematian Luta (Subur Sukirman), lelaki penjaga sapi yang otaknya rada miring tapi tergila-gila pada pada kesemokan Betina, membuat ibu Betina sebagai kerabat menaiki pedati untuk mengantar Luta. Sehingga akhirnya, ibu Betina akan mendapatkan giliran berhubungan intim dengan si penjaga kuburan.

    Begitu mengetahuinya, Betina menjadi sangat marah dan cemburu. Di tengah perasaanya yang lagi angot, ia sangat mendambakan si pemimpin pemakaman sampai-sampai berhalusinasi tengah bercinta dengan lelaki ini. Hanya ada satu jalan buat Betina untuk mendapatkan kesempatan bercinta yang sebenarnya: kematian ibunya.

    Film ber-tagline “... dan aku merindukanmu dengan kematian orang lain” (...and i miss you by the death of others), petikan puisi yang ditulis Afrizal Malna yang dalam film ini dibacakan oleh seorang penyiar radio, diawali dengan infomasi singkat mengenai “Jamur sebuah sajian menuju alam roh” dalam kalimat yang terus terang menurut saya kacau.

    Disebutkan bahwa di beberapa tempat di muka bumi ini di mana masyarakat masih menganut magi atau mistik, masih ada yang melaksanakan ritual proses transendal (fly, halusinasi, kesurupan, atau apa pun istilahnya). Untuk mendapatkan efek halusinasi sebelum ritual, orang memakan jamur beracun yang tumbuh di kotoran kandang sapi, kuda, atau kerbau. Jamur ini mengandung senyawa psilosibin yang memiliki efek halusinogenik jika dimakan atau dihisap. Psilosibin akan menimbulkan rasa sakit bahkan hingga kematian. Pemaparan tentang jamur dan psilosibin ini tergolong krusial mengingat sejumlah kematian yang terjadi dalam film disebabkan oleh psilosibin.

    Selanjutnya, sejumlah kematian yang terjadi akan menggiring penonton kepada pemahaman bahwa Betina lah yang telah menyuntikkan psilosibin ke tubuh korban. Tapi, apakah Betina benar-benar telah melakukan pembunuhan akan terjawab di akhir film, meski sejak awal penonton sudah bisa mengira-ngira, kecuali untuk kasus kematian paling akhir.

    Film ini sama sekali bukan film komersial. Terwujudnya skenario B.E. Raisuli menjadi film tampaknya lebih dipicu idealisme para pekerja seni yang menanganinya. Hal ini tersirat dari distribusi film yang antara lain melalui pemutaran di kampus-kampus.


    Sebenarnya kisah yang digelontor dalam film ini terbilang menarik, cuma memang lebih ditujukan kepada penonton yang menyukai film-film serius atau penonton yang menikmati film bukan hanya sekadar untuk mengisi waktu luang. Apalagi film ini hadir dengan dialog yang minimalis dan terutama mengandalkan gestur tubuh dan ekspresi wajah para pemain. So, para pecandu film jenis ‘jagung-brondong’ tidak dianjurkan menonton film satu ini.

    Film dengan dialog minimalis akan lebih terkesan sebagai film seni. Di sini yang akan berbicara banyak adalah gambar, dan gambar akan menjadi sangat penting dibanding kata-kata. Sesungguhnya wajar mengingat ini film dan bukan sandiwara radio. Sayangnya, pada saat dialog muncul (hal ini menyatakan bahwa butuh kata-kata untuk memperkuat gambar), beberapa pemain yang mendapatkan peran penting menampilkan akting yang terkesan teatrikal sehingga dialog yang mereka ucapkan terdengar ganjil.

    Primadona film ini tentu saja Kinaryosih (oh, i love u.....). Gestur tubuhnya yang indah menjadi kekuatan aktingnya. Ekspresi wajahnya ketika sedang gembira, marah, jengkel, cemburu, dan jatuh cinta sungguh pas dan enak dilihat. Kombinasi gestur dan ekspresi wajah yang sangat padu antara lain ditampilkannya pada adegan menjelang akhir film ketika kemarahan pada ibunya memuncak dan ia berhalusinasi sedang bercinta dengan si pemimpin pemakaman. Keren banget.

    Subur Sukirman yang memerankan Luta juga cukup bagus, sesuai perannya. Meski beberapa adegannya terkesan kacau dan agak menjijikkan, tapi ia berhasil menarik perhatian penonton. Akting gilanya hadir saat ia melampiaskan birahinya pada Mba (sapi milik ibu Betina) sampai menyusu pada si sapi segala (hahahahaha) dan saat ia mengencingi Dewa, sapi kesayangan Betina, saking cemburunya atas perhatian berlebih Betina kepada si sapi.

    Tutie Kirana dan Agastya Kandou yang didapuk memerankan dua karakter yang cukup penting tampil sangat kaku dan tidak menarik. Justru, dalam kebisuannya, Fahmi Alatas, yang berperan sebagai pembersih kandang sapi dan kuburan tampil jauh lebih menarik. Maudy Koesnaedi dan Nova Riyanti Yusuf memberikan ‘penampilan spesial’ (yang sebenarnya tidak cukup spesial) masing-masing sebagai janda Choky dan Mamang Otig. Sedangkan Syahrani mengalunkan suaranya untuk latar beberapa adegan dan menyanyikan lagu Good by Cruel World (karya Fahmi Alatas) dan Sun For Me (karya Fahmi Alatas & Syaharani).

    Label: