Jumat, 22 Juni 2012
LEWAT DJAM MALAM (1954)
Sebuah Jejak Sejarah
Pertama, saya ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang
telah terlibat dalam upaya menyelamatkan film ini. Mereka antara lain National
Museum of Singapore, Martin Scorcese
yang lewat World Cinema Foundation telah menanggung separuh biaya restorasi
ini, Yayasan Konfiden, Sinematek, Kineforum, dan lain-lain yang telah bekerja keras membuat film ini
menjadi “utuh” dan bisa kita nikmati kembali mulai 21 Juni 2012 di beberapa
bioskop tanah air.
Saya sempat terharu karena
akhirnya berkesempatan menyaksikan film karya Usmar Ismail hasil restorasi ini.
Gambarnya yang semula suram, penuh bercak dan “hujan” kini menjadi terang dan
bersih. Ya, masih ada sih sedikit “gerimis” di beberapa bagian, tetapi itu
sudah jauuuuuh lebih baik daripada sebelumnya. (Saya pernah nonton versi yang
belum direstorasi). Suaranya juga
menjadi jelas, tidak ada lagi bunyi “kresek kresek”. Oh, seandainya Usmar
Ismail atau Asrul Sani masih hidup, mereka pasti akan sesenggukan menyaksikan
karya mereka “hidup” kembali.
Saya tidak akan menceritakan
sinopsisnya, karena itu bisa dengan mudah kautemukan di internet. Saya lebih
suka ngobrolin bahwa film ini adalah semacam arsip sejarah Indonesia tahun
1950-an. Di film ini kita menyaksikan Bandung tempo doeloe dengan Jalan Braga dan Gedung Sate yang terkenal itu. (Bandung
jadul betulan, bukan buatan tim kreatif.) Juga kehidupan masyarakat kita, khususnya
golongan menengah atas, yang gemar berpesta layaknya orang Belanda. Lengkap
dengan dansa-dansi ala Eropa diselingi lagu “Rasa Sayange” yang menjadi semacam
acara berbalas pantun di antara muda-mudinya.
Dan coba perhatikan
gadis-gadisnya. Mereka memakai gaun tanpa lengan seperti noni-noni Belanda. Gaun
selutut itu bagian bawahnya melebar sehingga ketika pemakainya berputar, bagian
bawah gaunnya itu mengembang. Di film
ini, Netty Herawati dan Dhalia tak kalah cantik dari Katherine Hepburn atau Liz
Taylor, deh. Cara mereka menata rambut dan melukis alis juga mirip. Begitu pun pemain prianya. Model rambut dan
gaya sisiran A.N. Alcaf f dan Bambang Hermanto ,James Dean banget dengan kumis
ala Clark Gable. Boleh diadu deh gantengnya. Hehehe.
Lewat penggambaran pesta di film
ini, terlihat juga pergaulan muda-mudi kota zaman itu sudah cukup bebas. Maksud
saya, mereka tidak sungkan-sungkan bermesraan di muka umum.
Musik. Nah, musik yang ditata
oleh GRW Sinsu ini jadi mengingatkan saya pada film Soegija (harusnya terbalik, ya. Hehehehe). Sedap didengar dan nuansa kolonialnya berasa banget. Tak heran jika pada FII 1955 di Jakarta, film
ini memenangi penghargaan untuk kategori Tata Musik Terbaik.
Bagaimana dengan akting para
pemainnya? Hmm, masih standar, sih, tetapi lumayan, terutama Bambang Hermanto
yang berperan sebagi Puja, mantan pemuda pejuang yang menjadi centeng rumah bordil.
(Sempat heran melihatnya begitu ramping
dan tampan, sebab yang teringat di memori saya actor ini bertubuh tambun.) AN
Alcaff juga cukup menjiwai perannya sebagai Iskandar, mantan pemuda pejuang
idealis yang frustrasi melihat negeri yang diperjuangkannya ternyata menjadi
negeri yang korup. (Gimana kalau
Iskandar hidup di masa sekarang, ya? Pasti sudah sakit jiwa dia.)
Singkatnya (plaaaak!), Lewat Djam Malam adalah film klasik
Indonesia yang (mestinya) wajib ditonton para penikmat dan penggila film.
|
posted by Unknown at 6/22/2012 11:10:00 AM

Endah yang baik,
Apa diizinkan saya copy dan share resensimu ini? Nantinya juga akan saya cantumkan taut sumber ke blogmu tentang film ini.
salam hangat,
Amang
http://lewatdjammalam.blogspot.com
http://lewatdjammalam.wordpress.com
silakan, Amang, dengan senang hati kuizinkan :)
silakan, Amang, dengan senag hati kuizinkan :)