Kamis, 21 Juni 2012
SANG PENARI
Terima Kasih, Ifa.
Empat jempol untuk
penyutradaraan dan akting Oka Antara sebagai Rasus dan Prisia Nasution
sebagai Srintil yang sungguh terpuji. Rasanya mereka pantas dicalonkan
untuk mendapat Citra di FFI. Jangan lagi Landung Smatupang dan Slamet
Rahardjo, nggak heran deh kalau mereka bermain bagus. Yang tak kalah
keren adalah Dewi Irawan sebagai Nyai Kertareja. Meski lama tak muncul,
aktingnya masih oke. Suasana Dukuh Paruk berhasil dihadirkan bukan saja
secara visual tetapi juga diperkuat oleh dialog-dialog dalam bahasa
Banyumasan yang medok oleh para pemainnya. Kalau kamu sudah baca
novelnya yang dahsyat itu, kamu akan tahu bahwa Ifa sukses menerjemahkan
naskah tersebut ke dalam gambar. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah jika
mengingat novel RDP yang sudah dikenal masyarakat. Selalu ada risiko
menuai kritik dari para pembaca setianya.
Sekarang saya
mengerti mengapa Pak Ahmad Tohari sebagai penulis novel trilogi itu
menangis terharu saat menyaksikan film ini. Sangat berbeda ketika novel
yang sama difilmkan oleh Yazman Yazid menjadi Darah dan Mahkota Ronggeng (1983)
yang hanya mengekspos masalah seksnya dengan Enny Beatrice sebagai
Srintil. Saat itu, Enny Beatrice terkenal sebagai artis yang kerap
bermain dalam film-film hot. Saking kecewanya, Ahmad Tohari
tidak pernah sudi meyaksikan film tersebut. Sampai sekarang pun. Namun,
Ifa telah membayar semua kekcewaan Pak Toh lewat Sang Penari.
Jika
hendak bersetia dengan novelnya, awal mula Srintil menjadi ronggeng
seharusnya pada usia dua belas, ketika ia menadapat haid pertama kali.
Tetapi, dengan pertimbangan moral, Ifa memutuskan sedikit mengubah
bagian itu dengan Srintil yang sudah berusia 17. Keputusan yang bijak,
saya rasa.
Ya, ini kisah yang sarat tradisi lokal, tentang
seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil. Di Dukuh
Paruk yang miskin, keberadaan ronggeng adalah sebuah keharusan
sekaligus anugerah turun temurun. Ronggeng terakhir tewas beserta
beberapa warga dukuh yang lain akibat keracunan tempe bongkrek bikinan
ayah Srintil Srintil waktu itu masih bocah ingusan. Ayah ibu Srintil
akhirnya juga ikut mati oleh tempe buatan mereka sendiri. Untunglah,
Srintil selamat. Kemudian dia diasuh oleh kakeknya (Landung Simatupang).
Srintil
memiliki sahabat, Rasus namanya. Mereka tumbuh bersama dan tanpa sadar
benih-benih cinta telah turut bersemi seiring beranjaknya usia mereka.
Jika Rasus mengisi waktunya dengan bekerja sebagai buruh tani di kebun
singkong, Srintil diam-diam memendam hasrat untuk menjadi ronggeng yang
telah lama tiada di dukuh mereka. Meski Rasus tak setuju dengan
cita-cita Srintil, tetapi takdir lebih berkuasa menjadikan Srintil
sebagai penari. Maka, pada waktu yang telah ditentukan, digelarlah
upacara penobatan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam
upacara itu dia juga harus melewati ritual “bukak klambu”. Dalam ritual
ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar
tertinggi.
Dan selanjutnya, Srintil menjelma ronggeng yang
dicintai Dukuh Paruk. Rasus yang tetap tak sepakat, memilih meninggalkan
kampungnya dan kemudian menjadi tentara.
Seiring
perkembangan politik tanah air masa itu, Dukuh Paruk tak luput dari
jangkauan partai komunis. Kemiskinan dan kebodohan orang-orang di desa
itu adalah sasaran empuk bagi propaganda partai yang berpaham kerakyatan
itu. Bakar berhasil mendapatkan pengikut melalui jargon “semua untuk
rakyat”, termasuk kesenian. Termasuk ronggeng.
Srintil yang lugu
dan hanya tahu menari pada akhirnya harus menanggung akibatnya. Ketika
pecah kaos pada 1965, bersama orang-orang Paruk, Srintil ditangkap dan
ditahan. Ironisnya, petugas/tentara yang melakukan penangkapan itu salah
satunya adalah Rasus.
Percintaan Rasus dan Srintil yang
menjadi sentral cerita tergarap dengan baik, tidak terjerumus menjadi
adegan-adegan seks yang murahan atau meratap-ratap. Begitu pun untuk
bagian huru-hara politik 1965. Ifa menampilkan kehadiran PKI di Dukuh
Paruk lewat sosok Bakar (Lukman Sardi), seorang anggota PKI, dan warna
merah pada beberapa properti (caping, selendang, ikat kepala, spanduk).
Seingat saya tidak satu kali pun kata "PKI" terucap, bahkan oleh para
tentara yang melakukan "pembersihan" di Dukuh Paruk itu.
Detailnya
juga cukup rapi. Setting tahun 1950-1960-an hadir tanpa canggung
melalui kostum para pemain, mobil-mobil, truk tentara, angkutan umum,
sepeda, motor, rumah, jalan, dan pasar.
Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih kepada Ifa Isfansyah, Oka Antara, Prisia
Nasution, Salman Aristo (penulis skenario), dan seluruh kru film Sang Penari
yang telah bekerja dengan baik menciptakan karya sinema bermutu ini. *** |
posted by Unknown at 6/21/2012 03:42:00 PM

Sepakat kalau film ini film bagus. Tapi kecewa sama endingnya. Jauh sama novelnya, di novel bisa sampai 'mengiris-iris perasaan' kalau di filmnya berasa nggantung. Yah mungkin kalau disesuaikan sama endingnya Jentera Bianglala agak kepanjangan, tapi pemotongan endingnya itu yang agak kurang pas.
filmnya lumayan bagus suka makasih reviewnya bagus sekli
ibu menyusui boleh minum tolak angin