blog counter






  • Asongan Kebab : Suze Marie
  • Tukang Jagung Brondong : Ida
  • Juru Sobek Karcis : Yuli Bean
  • Centeng : Sitorus
  • Petugas Kebersihan : Mina





  • Bioskop Ferina
  • Bioskop Panas!
  • Bioskop Reygreena




  • Blogger

    FinalSense

    Amazon

    Yahoo

    Ebay



  • Loket 1 : Antie
  • Loket 2 : Jody
  • Loket 3 : Kobo
  • Loket 4 : Perca
  • Loket 5 : Qyu
  • Loket 6 : Tanzil
  • Calo Tiket





  • RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (2012)

    MAMA CAKE (2012)

    THE AMAZING SPIDER-MAN (2012) Marc Webb  A...

    LEWAT DJAM MALAM (1954)

    SANG PENARI

    SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN (2012)

    SOEGIJA (2012)

    DI TIMUR MATAHARI (2012)

    Emak Ingin Naik Haji

    Inkheart





    Juni 2007 Juli 2007 Agustus 2007 September 2007 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 November 2009 Juni 2012 Juli 2012 September 2012







    Rabu, 16 Januari 2008
    August Rush (2007)
    Genre: Drama, Musical
    Director: Kirsten Sheridan
    Writer: Nick Castle, James V. Hart Cast: Freddie Highmore, Jonathan Rhys Meyers, Kerri Russel, Terrence Howard, Robin Williams




    Pertama-tama, aku mau bilang … JONATHAN RHYS MEYERS itu ganteeeeeeeng sekali, hihihii ....

    Okay, sekarang kita mulai membahas filmnya. August Rush menceritakan kisah seorang anak laki-laki penghuni panti asuhan bernama Evan Taylor (Freddie Highmore). Evan memiliki telinga yang sangat sensitif dengan bunyi-bunyian. Dia menyukai musik. Karena itulah dia dianggap aneh oleh teman-temannya di panti asuhan. Lagian dia percaya kalau orangtua kandungnya bisa berhubungan dengannya melalui musik.

    Lalu, plot cerita pun mundur ke sebelas tahun sebelumnya, menceritakan tentang seorang pemain band keren bernama Louis Connelly (Jonathan Rhys Meyers yang ganteeeengg banget) dan seorang pemain cello berbakat di New York Philharmonic Orchestra bernama Lyla Novacek (Kerri Russel). Mereka dipertemukan oleh takdir (halaahh) pada suatu malam, langsung one night stand, dan si Lyla-nya langsung hamil, ckckckk .... Lalu, setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Nah, tentu saja Evan Taylor yang diceritakan di atas adalah buah dari hubungan semalam itu. Dan, tentu saja Evan mendapatkan bakat musik dari kedua orangtuanya.

    Kemudian, cerita bergulir saat Evan melarikan diri dari panti asuhan dan tersesat di New York. Dia bergabung dengan kelompok pengamen jalanan yang dipimpin oleh Wizard Wallace (Robin Williams)—kata Miss Icha, si Wizard ini adalah Bono Kucel, hihihi. Nah, dari situ bakat musik si Evan, yang kemudian diberi julukan August Rush oleh Wizard, mulai terasah. Kemudian, melalui berbagai rangkaian peristiwa, si Evan yang ternyata memang seorang musical prodigy bisa bersekolah di The Juilliard School, sekolah musik yang beken di New York. Dan, ambisinya pun tetap sama, dia ingin main musik supaya orangtuanya mendengarnya.

    Jadi, berhasilkah Evan bertemu dengan orangtuanya? Hihihi … nonton sendiri sana gih. Kalau menurutku sih, sebenarnya cerita film ini bagus, tapi skenarionya rada butut. Yah, banyak banget plot-hole di sana-sini. Banyak banget kebetulannya. Ceritanya sangat tertebak. Lalu, ada adegan orang lari terus ditabrak mobil pula. Soooo sinetron.

    Tapi yang jelas, Jonathan Rhys Meyers itu ganteeeeeengg banget. Yah, secara aku dan Miss Icha memang nonton film ini karena ada faktor JRM-nya. Dan tidak mengecewakan. This is a very exhausting movie. Secara tiap kali si ganteng ini muncul, kami selalu terkesiap, “Oooooohhhhh … ganteng banget sih,” gitu, hihiii. Lalu, yang paling brilian dalam film ini tentu saja Freddie Highmore. Dia ini anak kecil yang main di Charlie and the Chocolate Factory sama di Arthur and the Minimoys. Yah, di film ini dia sangat keren. Ekspresinya saat dia main musik tuh sangat membahagiakan. Yang lihat pun ikut senang.

    Jadi, apakah kesimpulannya? Pertama, film ini sangat layak tonton karena akting Freddie Highmore yang bagus banget dan karena ada Jonathan Rhys Meyers yang ganteeeeennggg banget. Kedua, film ini nggak diputar di 21, jadi nontonnya di Blitz saja, hehehe. Ketiga, Jonathan Rhys Meyers itu ganteeeeengg banget. Oooooohhhh ....

    Senin, 14 Januari 2008
    Ugly Betty (1st Season)
    Masih ingat nggak, bertahun-tahun yang lalu sempat ada telenovela ngetop banget berjudul "Yo Soy Betty La Fea"? Kalau nggak salah, pas aku awal-awal kuliah gitu deh. Eh, tapi aku nggak nonton. Cuman masih ingat aja dulu semua orang heboh nonton telenovela ini. Nah, sekarang ini, telenovela itu dibuat adaptasinya oleh Hollywood dan dijuduli "Ugly Betty".

    Inti ceritanya sih sama, tentang seorang gadis bernama Betty Suarez (America Ferrera) yang tampangnya "ugly" tapi hatinya "beautiful". (Ayo, baca dengan gaya Cincha Lowra, hihihi ….) Karena satu dan lain hal, si Betty ini bisa bekerja sebagai asisten editor in chief di majalah MODE, sebuah majalah fashion terkenal. Tapi, alih-alih menjadi sekadar asisten, si Betty malah harus menjadi nanny buat bosnya, Daniel Meade (Eric Mabius) yang sudah bujangan, cakep, kaya raya, womanizer pula.

    Karena bekerja di lingkungan fashion yang penuh tekanan (mirip-miriplah sama di The Devil Wears Prada), kehidupan Betty, yang selera berbusananya memang teramat buruk, tentunya jadi menderita. Dia harus menghadapi teman-teman sekantornya yang budak fashion banget, seperti si genit Amanda Tanen (Becki Newton) atau si genit juga Marc St. James (Michael Urie). Selain itu, karena keterlibatannya yang sangat mendalam dengan kehidupan bosnya, mau tidak mau dia juga ikut terjepit dalam konflik keluarga Meade. Di samping menceritakan tentang suka duka Betty di kantor, porsi cerita tentang keluarga dan kisah cintanya juga cukup banyak.

    Secara cerita, sesungguhnya Ugly Betty ini sinetron banget. Ya iyalaaahh, secara diadaptasi dari telenevola gitu loh. Seperti layaknya formula sinetron, tentunya ada tokoh-tokoh antagonisnya. Di sini, "penjahatnya" adalah Wilhelmina Slater (Vanessa Williams) dan Bradford Meade (Alan Dale). Wilhelmina adalah salah seorang petinggi di majalah MODE yang seharusnya jadi editor in chief seandainya Daniel nggak ada. Bradford adalah ayah Daniel. Sebenarnya mereka ini dibilang jahat juga nggak gitu-gitu amat sih, secara masih ada kebaikan dalam hati mereka. Cuman yah, punya niat buruk dan seringnya nyebelin, gitu. Pokoknya sinetroooonnn sekali.

    The Cast of Ugly Betty

    Eh, tapi meskipun sinetron aku suka kok nontonnya. (Betul-betul, kenapa akhir-akhir ini aku selalu terjebak dalam tontonan crunchy nyam-nyam?) Yang membuatku ngikutin terus sinetron ini adalah karakter-karakter di dalamnya yang ajaib-ajaib. Aku malah nggak begitu suka dengan karakter Betty yang terlalu baik hati (kayak si Unyil deh), dan kadang-kadang berbuat sangat bodoh karena terlalu memikirkan orang lain. Yang paling top di sini, menurutku adalah Justin Suarez (Mark Indelicato), keponakan Betty yang masih 12 tahun. Lucuuu banget deh ini anak, hihihiii. Lalu aku juga suka sama si Marc yang ekspresinya komik banget. Selain itu, aku juga suka setingnya yang di majalah fashion itu. Asik deh, banyak lihat barang bagus, hihihii.

    Yah, sebagai tontonan, Ugly Betty memang menghibur. Guilty pleasure? Sedikit laahh, hehehe. Tungguin ah, season berikutnya
    Senin, 07 Januari 2008
    The Kite Runner
    Kite Runner, MoviePemeran : Khalid Abdalla (Amir dewasa), Atossa Leoni (Soraya), Shaun Toub (Rahim Kahn), Zekeria Ebrahimi (Amir anak2), Ahmad Khan Mahmidzada (Hassan anak2)
    Sutradara : Marc Forster
    Durasi : 2 jam 2 min.
    Distributor: Paramount Vantage
    Tanggal Rilis: 14 Desember 2007 (US), Februari 2008 (Indonesia)


    Novelnya yang sudah terbit sejak tahun 2003 sempat menjadi sebuah fenomena yang dibicarakan oleh banyak pecinta buku di dunia. Dipuji banyak kritikus dan menjadi International best seller. Nyaris semua pembacanya mengaku terhanyut, mengharu biru, bahkan hingga berkali-kali meneteskan air mata mengikuti cerita novel tersebut. Bukan karena kisahnya cengeng merengek-rengek, tapi justru karena ketegaran tokoh2nya.

    Nggak Berharap Banyak untuk Film Adaptasi

    Menonton filmnya, seperti biasa menonton film adaptasi dari novel, awalnya nggak berani berharap banyak. Pasti banyak yang akan dikorbankan karena durasi. Nggak mungkin novel sekian ratus halaman akan utuh diterjemahkan dalam film yang maksimal 2 setengah jam sebelum penonton menjadi bosan. Dan juga visualisasi yang sudah terekam di otak waktu membaca novelnya, biasanya akan kacau balau ketika harus dicocokkan dengan visualisasi yang diciptakan sutradara film, karena selalu jauh berbeda.

    Di film ini, setting kota Kabul ternyata jauh lebih kering dan gersang daripada visualisasi khayalanku waktu baca novelnya. Juga jauh lebih padat pemukimannya. Rumah Amir juga tidak semewah yang aku bayangkan. Ataukah... aku yang berlebihan bikin imajinasi ya?.. haha.. :p

    Kisah Masa Kanak-kanaknya Mengharukan

    Pelakon Amir anak anak (Zekeria Ebrahimi) dan Hassan (Ahmad Khan Mahmidzada) sangat menjiwai sekali perannya masing-masing. Terutama Hassan. Dia berhasil sekali menampilkan karakter seorang anak pelayan yang patuh dan sepenuhnya mengabdi kapada tuannya tanpa mengeluh. Hassan yang tampak selalu antusias melakukan setiap pekerjaannya justru lebih adorable daripada Amir yang lebih sering murung.

    Mungkin memang Amir harus menampilkan karakter seperti itu. Meskipun hidup berkecukupan dan jauh lebih beruntung daripada Hassan yang hanya anak pelayan, Amir merasakan beban yang lebih berat. Dan pemerannya mampu memperlihatkan beban itu. Dia tampak menjaga jarak dari semua orang untuk menyembunyikan bebannya, bahkan kepada Hassan yang rela mengabdi total kepadanya.

    Interaksi antara Amir dan Hassan menjadi bagian yang sangat menarik di film ini. Saat Hassan mengejar layang-layang yang berhasil dikalahkan oleh Amir, saat Hassan berkata ia rela memakan tanah kalau Amir menyuruhnya, saat Amir mengukir di batang pohon "Amir dan Hassan, Sultan-sultan Kabul", saat Hassan dengan antusias mendengarkan Amir mendongeng "Roustam and Sohrab" untuknya... semuanya sangat menyentuh meskipun diceritakan hanya secara singkat.

    Sementara bagian yang paling keren dan menyenangkan untuk dilihat adalah visualisasi pertarungan layang-layang. Layang-layang benar2 dimainkan dalam sebuah pertarungan, meluncur berkejar-kejaran, membuat manuver gerakan untuk menjebak lawan, kemudian saling membelit benang, berputar-putar, kemudian... "slinnggg!!" .. benang dari salah satu layang-layang berhasil diputuskan lawannya... Selain ditampilkan dari pandangan darat, yang lebih seru adalah saat kamera seolah berada di belakang atau di atas layang-layang, mengikuti gerakan layang-layang saat meluncur di udara dengan sayapnya yang berkelepak-kelepak menahan dorongan angin. Keren... hidup banget!

    Pada titik yang paling menyesakkan dada, saat Hassan mengorbankan dirinya untuk Amir, aku nggak bisa berkata-kata. Tapi aku juga nggak terlalu terharu biru menonton bagian ini. Entah mungkin sudah mengantisipasinya karena udah baca novelnya, atau kah karena memang digarap tanpa terlalu banyak didramatisir. Mungkin juga keharuan itu jadi kacau karena bercampur dengan perasaan kesal terhadap sikap Amir yang pengecut.

    Datar di Bagian Pertengahan

    Sebagaimana novelnya, setelah kejadian tersebut cerita berubah arah menjadi agak menjengkelkan karena Amir berubah memusuhi Hassan. Ketika Amir dan Baba berimigrasi ke Amerika, cerita menjadi kering tanpa gejolak berarti. Baguslah penulis skenarionya tidak berpanjang2 pada bagian ini, sekedar agar kisah kehidupan Amir tidak melompat tiba-tiba. Cerita kembali bernyawa saat Amir kembali ke Kabul yang sudah luluh lantak untuk menebus dosanya kepada Hassan.

    Pemeran Amir dewasa (Khalid Abdalla) tidak jelek mainnya, tapi juga tidak terlalu istimewa. Wajahnya kurang berekspresi menurutku, dengan wajah canggung sebagai ekspresi default :p. Harusnya dia diberi kesempatan untuk lebih emosional waktu dia tahu ayahnya telah membohonginya sepanjang hidup. Tapi di ending film saat bermain layang-layang bersama Sohrab, ia berhasil menghidupkan karakter Amir dan menyentuh hati penonton.

    Bikin Berkaca kaca

    Menangis? ahh... berkaca-kaca cukuplah :p
    Beberapa bagian yang paling menyentuh buatku adalah adegan-adegan berikut:
    • Saat Hassan tidak membalas Amir tapi malah memukul kepalanya sendiri.
    • Saat Amir membaca surat Hassan yang dititipkan pada Rahim Khan
    • Saat Amir melakukan sholat di masjid (ini keren banget visual dan soundtrack nya)
    • Saat Amir dengan antusias mengajari Sohrab bermain layang-layang sambil mengenang cara bermain Hassan (... errr... yang ini sih akhirnya pertahananku jebol.. hihihi :p )

    Award untuk Kite Runner

    Dan aku setuju dengan juri Golden Globe yang selain menominasikan film ini sebagai film berbahasa asing terbaik (ya, film ini tidak seperti novel aslinya yang berbahasa Inggris, film ini menggunakan bahasa asli Afghanistan sebagai bahasa penutur utamanya makanya dia masuk katagori film berbahasa asing meskipun bikinan Hollywood), juga memasukan film ini dalam nominasi Best Original Score, alias tata musik terbaik. Malah di Satellite Award, ajang awarding film dari para jurnalis se Amerika, film ini sudah memenangkan katagori tersebut.

    Musik pembukanya yang mengiringi pemunculan judul dan credit title keren banget... menggunakan harmoni alat-alat musik gesek dengan ditingkahi perkusi khas asia selatan. Lagu pengiring saat Amir bersujud di masjid juga pas banget, sangat menyentuh ... kalau ada yang tahu lagu apa, dan punya lagunya, bagi-bagi yah :D

    Sementara di ajang anugerah film versi Critics Choice Award, yang diselenggarakan oleh para kritikus film se Amerika dan Canada, film ini dinominasikan sebagai "Best Picture", dan juga mendapat nominasi dalam "Best Young Actor" untuk Ahmad Khan Mahmidzada si pemeran Hassan anak-anak. Ahh... dia memang pantas sekali mendapatkannya, pas banget karakternya. Besok tanggal 7 Januari, award ini baru diumumkan. Kalo untuk Oscar, ya tunggu saja sampai nominasinya diumumkan :)
    Kamis, 03 Januari 2008
    MR. BROOKS


    Judul Film : Mr. Brooks

    Sutradara: Bruce A.Evans
    Skenario: Bruce A.Evans & Reynold Gideon
    Pemain: Kevin Costner, Demi Moore, william Hurt
    Produksi: MGM
    Masa putar: 120 menit
    Tahun: 2007


    Yang paling mengesalkan dari film ini adalah bagian endingnya. Benar-benar ngga jelas. Jika ini film detektif, mestinya ada penyelesaiannya. Tertangkap atau tidak si penjahat. Ini malah si detektif, Tracy Atwood (Demi Moore) sepertinya hanya berfungsi sebagai pemanis saja. Dia malah kelihatan lebih sibuk ngurusi perceraiannya serta menghindari para begundal yang pernah dipenjarakannya. Kasus utamanya sendiri, pembuhunan yang dilakukan oleh Earl Brooks tak ditangani serius (setidaknya seperti itu yang saya tangkap).


    Earl Brooks (Kevin Costner) yang baru saja terpilih sebagai "Man of The Year" kambuh kembali penyakit jiwanya. Ia menderita gangguan kejiwaan semacam split personality. Alter egonya (atau teman khayalan ya?), Marshall (William Hurt), adalah pengaruh buruk baginya. Jika sedang di bawah kendali Marshall, Brook yang selalu berpenampilan santun, bisa menjelma seorang pembunuh kejam berdarah dingin. Seorang maniak yang ketagihan membunuh.


    Ia mampu membunuh tanpa motif apapun. Ya, namanya juga sakit jiwa. Selama ini aksinya selalu sukses hingga malam itu. Pembunuhan terhadap sepasang kekasih yang tengah bercinta, ternyata disaksikan oleh Smith, pemuda yang tinggal di apartemen seberang tempat kejadian. Smith berhasil merekam kejadian tersebut lewat lensa kameranya dan kemudian ia pakai untuk memeras Brook.


    Hah, aku sih sudah bisa menduga bahwa si tolol ini akan segera menemui ajalnya pula, menyusul pasangan kekasih yang malang itu.Berurusan dengan pembunuh saja sudah repot, apa lagi ini pembunuh yang sakit jiwa.


    Benar saja kan. Smith yang bodoh itu akhirnya mati juga di tangan sadis Brook. Ooh...adegan pembantaiannya di area perkuburan di malam yang diguyur hujan benar-benar mencekam. Ia dibunuh dengan sekop yang dihantamkan ke lehernya. Lehernya robek seperti ayam disembelih. Hooeeeek....betul-betul bikin mual (di bagian ini aku tutup mata, tapi sambil ngintip-ngintip juga sih).


    Korban kegilaan Tuan Brook berikutnya adalah suami dari detektif Atwood. Detektif cantik inilah yang menangani kasus pembunuhan yang dilakukannya.


    Sementara itu, putri tunggal Brook, Jane, menjadi tersangka pembunuhan di sekolahnya. Jane terpaksa drop out karena hamil. Kepada ayahnya, Jane mengaku yang menghamilinya adalah seorang pria beristri dengan dua anak. Peristiwa tersebut selanjutnya menghantui mimpi-mimpi Brook.


    Seharusnya ini bisa jadi film thriller yang bagus. Aksi-aksi pembuhunan yang dikerjakan oleh Brooks cukup berhasil mencuatkan ketegangan di setiap pemunculannya. Ekspresi dingin Si Tuan Brooks turut menambah aura ketegangan itu. Puncaknya adalah sadisme dengan muncratan darah di mana-mana. Ugh, aku sih eneg..


    Cuma sayangnya harus berakhir dengan ending terbuka. Penonton dipersilakan menafsirkan sendiri. Biasanya sih aku suka open ending begini, tetapi kali ini benar-benar menyebalkan. Atau ini disengaja untuk kepentingan sekuel?


    endah sulwesi