Sabtu, 23 Juni 2007
BETINA
Judul Film : BETINA
PSILOSIBIN DALAM HASRAT DAN CINTA Kenapa banyak kematian datang di sekitar cinta dan kerinduanku
Sebagai orang Indonesia, menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya untuk menyaksikan film produksi domestik. Sayangnya, belakangan lebih banyak muncul film bertema remaja, yang dari segi cerita dan penggarapan masih kekurangan polesan. Film Indonesia yang sempat menarik perhatian saya antara lain Arisan! (Nia Dinata) 9 Naga (Rudy Soedjarwo), dan Belahan Jiwa (Sekar Ayu Asmara). Sebagai panduan utama bagi saya untuk menonton yang pasti adalah genre film itu sendiri. Dan bagi saya drama kemanusiaan, hubungan antar manusia, dan problematik kehidupan manusia menjadi pilihan utama. Film aksi misalnya, apalagi yang mengandalkan special effect, berangsur menghilang dari minat saya. Oleh karena itu film “Betina” menjadi wajib tonton bagi saya, meski hanya lewat DVD (produksi Cinekom), karena film ini memang tidak ditayangkan di bioskop-bioskop tanah air. “Betina” diproduksi secara independen dan merupakan karya penyutradaraan perdana aktris Lola Amaria. Film ini mengusung tema kehidupan manusia yang dihadirkan sebagai sesuatu yang absurd. Tokoh-tokoh yang ada dalam film nyaris semuanya aneh, tapi jika dipikir-pikir sepertinya bisa eksis dan kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Betina (Kinaryosih) adalah seorang gadis pemerah susu di pangkalan susu milik Mamang Otig. Ia seorang gadis berwajah cantik dan bertubuh molek. Tidak heran pria-pria di desanya (desa antah-berantah) mengagumi, bahkan mencoba melakukan hal-hal yang tidak pantas padanya. Betina tinggal dengan ibunya (Tutie Kirana) yang agak sinting setelah ayah Betina (Zairin Zain) diciduk dari rumah. Ayah Betina adalah seorang tentara yang telah menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam sebuah buku berjudul “NKRI Bukan Tuhan” yang dipandang sebagai tindakan subversif. Sepeninggal sang suami, ibu Betina tak pernah berhenti berharap lelakinya akan pulang ke rumah. Karenanya ia masih terus mencuci dan menyetrika seragam sang suami secara teratur dengan penuh kerinduan. Kepergian ayahnya yang tak kunjung kembali membuat Betina kehilangan figur lelaki. Hingga suatu hari, ia menemukan seorang lelaki yang dipikirnya ideal seperti ayahnya. Lelaki itu (Agastya Kandou) adalah seorang pemimpin prosesi pemakaman. Untuk melihat lelaki itu, Betina harus menunggu setiap kali di desanya terjadi kematian. Lelaki ini akan menuruni bukit dengan jubah putihnya yang aneh untuk menjemput para janda atau kerabat perempuan si mati. Pada saat itu beberapa orang tewas dibunuh. Antara lain Choky, bandar susu yang mencoba melecehkan Betina dan Otig, pemilik peternakan sapi yang mencoba memerkosa Betina. Pada saat keduanya hendak dikuburkan di pemakaman bukit dengan nisan berbentuk segitiga dan dipimpin oleh lelaki idaman Betina, para istri mengantar jenazah sambil menumpang pedati yang diikuti sejumlah orang berbusana sarung dan karung, berkalung piring seng, dan bertopi serok sampah. Salah satu bagian prosesi ini adalah para janda dijemput si pemimpin pemakaman, dan setelah jenazah dikuburkan akan berhubungan intim dengan si pemimpin pemakaman di kediamannya di tengah kuburan. Kematian Luta (Subur Sukirman), lelaki penjaga sapi yang otaknya rada miring tapi tergila-gila pada pada kesemokan Betina, membuat ibu Betina sebagai kerabat menaiki pedati untuk mengantar Luta. Sehingga akhirnya, ibu Betina akan mendapatkan giliran berhubungan intim dengan si penjaga kuburan. Begitu mengetahuinya, Betina menjadi sangat marah dan cemburu. Di tengah perasaanya yang lagi angot, ia sangat mendambakan si pemimpin pemakaman sampai-sampai berhalusinasi tengah bercinta dengan lelaki ini. Hanya ada satu jalan buat Betina untuk mendapatkan kesempatan bercinta yang sebenarnya: kematian ibunya. Film ber-tagline “... dan aku merindukanmu dengan kematian orang lain” (...and i miss you by the death of others), petikan puisi yang ditulis Afrizal Malna yang dalam film ini dibacakan oleh seorang penyiar radio, diawali dengan infomasi singkat mengenai “Jamur sebuah sajian menuju alam roh” dalam kalimat yang terus terang menurut saya kacau. Disebutkan bahwa di beberapa tempat di muka bumi ini di mana masyarakat masih menganut magi atau mistik, masih ada yang melaksanakan ritual proses transendal (fly, halusinasi, kesurupan, atau apa pun istilahnya). Untuk mendapatkan efek halusinasi sebelum ritual, orang memakan jamur beracun yang tumbuh di kotoran kandang sapi, kuda, atau kerbau. Jamur ini mengandung senyawa psilosibin yang memiliki efek halusinogenik jika dimakan atau dihisap. Psilosibin akan menimbulkan rasa sakit bahkan hingga kematian. Pemaparan tentang jamur dan psilosibin ini tergolong krusial mengingat sejumlah kematian yang terjadi dalam film disebabkan oleh psilosibin. Selanjutnya, sejumlah kematian yang terjadi akan menggiring penonton kepada pemahaman bahwa Betina lah yang telah menyuntikkan psilosibin ke tubuh korban. Tapi, apakah Betina benar-benar telah melakukan pembunuhan akan terjawab di akhir film, meski sejak awal penonton sudah bisa mengira-ngira, kecuali untuk kasus kematian paling akhir. Film ini sama sekali bukan film komersial. Terwujudnya skenario B.E. Raisuli menjadi film tampaknya lebih dipicu idealisme para pekerja seni yang menanganinya. Hal ini tersirat dari distribusi film yang antara lain melalui pemutaran di kampus-kampus. Sebenarnya kisah yang digelontor dalam film ini terbilang menarik, cuma memang lebih ditujukan kepada penonton yang menyukai film-film serius atau penonton yang menikmati film bukan hanya sekadar untuk mengisi waktu luang. Apalagi film ini hadir dengan dialog yang minimalis dan terutama mengandalkan gestur tubuh dan ekspresi wajah para pemain. So, para pecandu film jenis ‘jagung-brondong’ tidak dianjurkan menonton film satu ini.
Film dengan dialog minimalis akan lebih terkesan sebagai film seni. Di sini yang akan berbicara banyak adalah gambar, dan gambar akan menjadi sangat penting dibanding kata-kata. Sesungguhnya wajar mengingat ini film dan bukan sandiwara radio. Sayangnya, pada saat dialog muncul (hal ini menyatakan bahwa butuh kata-kata untuk memperkuat gambar), beberapa pemain yang mendapatkan peran penting menampilkan akting yang terkesan teatrikal sehingga dialog yang mereka ucapkan terdengar ganjil. Primadona film ini tentu saja Kinaryosih (oh, i love u.....). Gestur tubuhnya yang indah menjadi kekuatan aktingnya. Ekspresi wajahnya ketika sedang gembira, marah, jengkel, cemburu, dan jatuh cinta sungguh pas dan enak dilihat. Kombinasi gestur dan ekspresi wajah yang sangat padu antara lain ditampilkannya pada adegan menjelang akhir film ketika kemarahan pada ibunya memuncak dan ia berhalusinasi sedang bercinta dengan si pemimpin pemakaman. Keren banget. Subur Sukirman yang memerankan Luta juga cukup bagus, sesuai perannya. Meski beberapa adegannya terkesan kacau dan agak menjijikkan, tapi ia berhasil menarik perhatian penonton. Akting gilanya hadir saat ia melampiaskan birahinya pada Mba (sapi milik ibu Betina) sampai menyusu pada si sapi segala (hahahahaha) dan saat ia mengencingi Dewa, sapi kesayangan Betina, saking cemburunya atas perhatian berlebih Betina kepada si sapi. Tutie Kirana dan Agastya Kandou yang didapuk memerankan dua karakter yang cukup penting tampil sangat kaku dan tidak menarik. Justru, dalam kebisuannya, Fahmi Alatas, yang berperan sebagai pembersih kandang sapi dan kuburan tampil jauh lebih menarik. Maudy Koesnaedi dan Nova Riyanti Yusuf memberikan ‘penampilan spesial’ (yang sebenarnya tidak cukup spesial) masing-masing sebagai janda Choky dan Mamang Otig. Sedangkan Syahrani mengalunkan suaranya untuk latar beberapa adegan dan menyanyikan lagu Good by Cruel World (karya Fahmi Alatas) dan Sun For Me (karya Fahmi Alatas & Syaharani). Label: Drama. Indonesia |
aku baru ntn petikannya saja hehehe
ayo...nonton...ayo...seutuhnya.
yang merasa orang Indonesia, harus menghargai filmnya sendiri...hehehehe....
Aku malah cuma tahu film ini karena di-sms kemaren-kemaren itu
hehehhehehe
Ah, Kobo, kasiyan deh lu ini....menjadi asing di negeri sendiri wakakakakakakakaka
ow..cuma ada dalam bentuk dvd doang ya? pantesan aja..
imgar
Wah ga bahas feminisme nih? :)
istiqfhar...