blog counter






  • Asongan Kebab : Suze Marie
  • Tukang Jagung Brondong : Ida
  • Juru Sobek Karcis : Yuli Bean
  • Centeng : Sitorus
  • Petugas Kebersihan : Mina





  • Bioskop Ferina
  • Bioskop Panas!
  • Bioskop Reygreena




  • Blogger

    FinalSense

    Amazon

    Yahoo

    Ebay



  • Loket 1 : Antie
  • Loket 2 : Jody
  • Loket 3 : Kobo
  • Loket 4 : Perca
  • Loket 5 : Qyu
  • Loket 6 : Tanzil
  • Calo Tiket





  • RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (2012)

    MAMA CAKE (2012)

    THE AMAZING SPIDER-MAN (2012) Marc Webb  A...

    LEWAT DJAM MALAM (1954)

    SANG PENARI

    SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN (2012)

    SOEGIJA (2012)

    DI TIMUR MATAHARI (2012)

    Emak Ingin Naik Haji

    Inkheart





    Juni 2007 Juli 2007 Agustus 2007 September 2007 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 November 2009 Juni 2012 Juli 2012 September 2012







    Senin, 10 September 2007
    MAN ON THE TRAIN

    Sutradara Patrice Leconte
    Skenario Jean Marie Drejou
    Pemain Jean Rochefort, Johnny Hallyday
    Produksi Paramount


    Ketika seorang pensiunan guru sastra bertemu dengan seorang kriminal perampok bank di sebuah kota kecil di Prancis dan kemudian tinggal bersama, apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebuah hubungan pertemanan yang menarik. Kisah inilah yang diangkat oleh sutradara Prancis, Patrice Leconte ke dalam filmnya Man on The Train (judul asli : L'homme du Train). Film yang skenarionya ditulis oleh Jean Marie Drejou ini, bercerita tentang pertemanan dua orang lelaki tersebut.

    Milan (Johnny Hallyday) adalah seorang kriminal yang berencana merampok bank di sebuah kota kecil di Prancis secara tidak sengaja bertemu dan berkenalan dengan Manesquier (Jean Rochefort) di sebuah toko obat. Manesquier lalu mengajak Milan singgah ke rumahnya di mana ia tinggal sendiri saja sebagai seorang pensiunan guru. Karena saat itu bulan November, tidak banyak hotel yang buka. Maka untuk selanjutnya Milan tinggal di rumah teman barunya itu.

    Kehidupan yang tenang dan teratur sebagai mantan guru tentu saja amat berbeda dengan kehidupan seorang perampok bank. Selama tinggal bersama inilah mereka berdua lalu menjalin sebuah hubungan pertemanan dengan diam-diam saling mencemburui kehidupan masing-masing. Milan yang kriminal itu iri terhadap kehidupan Manesquier yang 'beradab' : memberi les sastra, bermain piano, memasak, makan malam dan memandang bintang di langit malam. Sementara di mata Manesquire, Milan adalah sosok lelaki jantan yang hidup bagai koboy-koboy di Amerika sana : berjaket kulit, merokok, menenggak alkohol, memiliki sepasang pistol. Maka lalu keduanya saling membagi sedikit kehidupannya. Milan lalu mengajari Manesquier caranya menembak dan Manesquier memberinya sebuah buku kumpulan puisi. Mungkinkah keduanya lalu bertukar tempat dan kehidupan?

    Leconte, sang sutradara berusia 60 tahun (lahir 12 November 1947), pernah berkarier sebagai seorang kartunis di majalah berbahasa Perancis Pilote sampai dengan tahun 1975. Sebelum Man On The Train ini, ia banyak membuat film-film drama komedi seperti : Ma Femme S'appele Revient (1981) dan Circulez Y'a Rien a Voir (1983). Filmnya Man On The Train ini meraih penghargaan sebagai film terbaik dan aktor terbaik dalam Festival Film Venice tahun 2002.

    Endah Sulwesi
    Senin, 03 September 2007
    Freedom Writers
    Freedom Writers

    Cast: Hilary Swank, Patrick Dempsey, Scott Glenn, Imelda Staunton
    Director: Richard Lagravenese
    Writer: Richard Lagravenese


    KELAS 203

    Erin Gruwell (Hilary Swank) tidak menyadari apa yang akan dihadapinya saat diterima menjadi guru di Wilson High School. Sebagai seorang fresh graduate, Erin mendapatkan tugas mengajar pertama di Room 203, yang berisi siswa yang sudah “tersingkirkan” dari sistem pendidikan dan dianggap “tidak bisa dididik lagi”. Para remaja yang menjadi murid Erin berasal dari berbagai macam latar belakang rasial, dan mereka semua rentan terhadap kekerasan jalanan dan narkoba.

    Sebagai seorang guru muda (23 tahun) yang masih penuh idealisme, Erin berusaha sebisa mungkin untuk menjalankan tugasnya. Dengan berbagai cara, dia mencoba menarik perhatian para siswanya. Cara belajar yang menyenangkan diterapkannya di kelas. Misalnya, untuk mempelajari puisi, dia menggunakan lirik lagu rap. Dia juga memberikan banyak permainan untuk dilakukan di kelas. Perlahan-lahan, saking terobsesinya Erin untuk memajukan pendidikan muridnya, tanpa sadar waktu pribadinya tersita. Untuk membelikan muridnya buku bacaan yang bermutu—karena sekolah tidak bersedia menyediakan buku untuk mereka—dia bersedia mengambil pekerjaan paruh waktu di dua tempat.

    Bersenang-senang di Kelas 203

    Lambat laun, pernikahannya pun menjadi korban, karena suaminya (Patrick Dempsey) tidak tahan ditinggalkan oleh istrinya bekerja mati-matian sepanjang hari. Tapi, Erin tidak menyerah. Terinspirasi pada buku harian Anne Frank, dia menghadiahkan jurnal untuk para muridnya. Dia menugasi mereka untuk menuliskan apa pun yang ingin mereka tulis di dalam jurnal itu. Ternyata, tugas itu betul-betul menginspirasi para muridnya. Dengan jurnal itu, mereka menjadi semakin terbuka, semakin bisa menerima keberadaan teman-teman mereka yang berasal dari berbagai latar belakang, dan Room 203 pun menjadi seakrab sebuah keluarga bahagia. Jurnal itulah yang kemudian dinamakan “The Freedom Writers Diary”.

    Sebagai sebuah kisah nyata, film ini sangat menggugah perasaan. Erin Gruwell sendiri hingga sekarang masih menjadi motor dalam Freedom Writers Foundation, sebuah organisasi yang menggalakkan metoda mengajar alternatif.


    NONTON BARENG

    Freedom Writers ini menjadi film pertama yang dipilih dalam program nonton bareng Keluarga Kutu Buku Gila (yang anggotanya adalah para penjaga loket bioskop norak ini, ditambah para figuran, dan sebagian pemilik bioskop tetangga). Tentu saja yang dimaksud nonton bareng ini bukan duduk bersama dan nonton bersama, tetapi nonton di rumah masing-masing, dan waktunya pun nggak bersamaan, hahahaa. Pokoknya intinya menonton film yang sama, begitu. Alasan kenapa film ini dipilih, tentu saja karena film ini berhubungan dengan buku. Karena kami kan kutu buku yang berdedikasi, gitu lhuwoh (yah, meskipun gila).

    Ibu Erin yang sangat berdedikasi

    Berbagai pendapat tentang film ini pun bermunculan. Ada yang sangat menyukainya, ada yang biasa saja. Memang menyentuh melihat perjuangan Erin Gruwell, tapi kadang-kadang menyebalkan juga melihat kekeraskepalaannya (sampai suaminya kabur begitu), tapi mungkin memang keras kepala merupakan salah satu syarat kesuksesan, ya? Ada yang terharu saat menontonnya, ada yang bosan karena film ini rasanya nggak original (yah, dari segi cerita, silakan dibandingkan dengan Dangerous Minds, Sister Act, atau The Chorus).

    Yang jelas, percaya atau tidak, melihat para siswa Erin yang rajin menulis terasa bagaikan lecutan cambuk bagi kami para blogger yang terkadang malas meng-update blog ini, hahaha. Baiklah, silakan saksikan film ini! Atau, buat yang sudah nonton, bagikan pengalaman nontonnya kepada kami. Sudah saatnya para Kutu Buku Gila memikirkan film selanjutnya untuk ditonton bareng. (Hmm, tapi mungkin nanti gantian ya, yang bagian nulis reviewnya, hehehehee ….)


    -Loket 1-

    Film ini ditayangkan secara serentak di semua Loket Bioskop Norak.

    Label: , ,