blog counter






  • Asongan Kebab : Suze Marie
  • Tukang Jagung Brondong : Ida
  • Juru Sobek Karcis : Yuli Bean
  • Centeng : Sitorus
  • Petugas Kebersihan : Mina





  • Bioskop Ferina
  • Bioskop Panas!
  • Bioskop Reygreena




  • Blogger

    FinalSense

    Amazon

    Yahoo

    Ebay



  • Loket 1 : Antie
  • Loket 2 : Jody
  • Loket 3 : Kobo
  • Loket 4 : Perca
  • Loket 5 : Qyu
  • Loket 6 : Tanzil
  • Calo Tiket





  • RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (2012)

    MAMA CAKE (2012)

    THE AMAZING SPIDER-MAN (2012) Marc Webb  A...

    LEWAT DJAM MALAM (1954)

    SANG PENARI

    SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN (2012)

    SOEGIJA (2012)

    DI TIMUR MATAHARI (2012)

    Emak Ingin Naik Haji

    Inkheart





    Juni 2007 Juli 2007 Agustus 2007 September 2007 Oktober 2007 November 2007 Desember 2007 Januari 2008 Februari 2008 Maret 2008 April 2008 Mei 2008 Juni 2008 Juli 2008 Agustus 2008 September 2008 Oktober 2008 Desember 2008 Januari 2009 Februari 2009 Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 November 2009 Juni 2012 Juli 2012 September 2012







    Sabtu, 22 Desember 2007
    FLIGHT PLAN

    Judul film : Flightplan
    Sutradara: Robert Schwentke
    Skenario: Peter A.Dawling & Billy Ray
    Pemain: Jodie Foster, Peter Sarsgaard, Sean Bean, dll.
    Produksi: Touchstone Pictures
    Masa putar: 98 menit
    Tahun: 2005


    Akhirnya kesampaian juga nonton film Jodie Foster ini. Film jenis action dengan Jodie Foster sebagai jagoannya. Settingnya di kabin pesawat udara berkapasitas 400 orang. Gueede banget deh pesawatnya. Namanya Aalto Airlines yang terbang dari Berlin dengan tujuan New York. Kyle Praat (Jodie Foster) ada di dalamnya bersama putri tunggalnya, Julia (Marlene Lawston) yang berumur enam tahun.
    Dalam penerbangan yang memakan waktu 13 jam itu, Kyle sempat tertidur selama 3 jam. Ketika ia terjaga, disadarinya Julia sudah tidak ada di kursinya. Setelah dicari ke sana ke mari namun tak juga ketemu, Kyle mulai panik. Mustahil putrinya menghilang secara gaib. Pasti ada seseorang yang telah menyembunyikannya.
    Dalam paniknya, Kyle meminta bantuan para kapten pilot (Sen Bean) yang segera memerintahkan krunya untuk mencari Julia. Namun sayang menurut salah seorang pramugari nama Julia tak ada dalam daftar penumpang di penerbangan itu. Konyolnya, Kyle juga tak bisa munjukkan bukti tiket dan boarding pass atas nama Julia. Seseorang tentu telah mencuri darinya.
    Sebagai seorang insinyur aeronautika, Kyle sangat paham kondisi dan isi perut pesawat. Oleh karena itu ia yakin putrinya pasti berada di suatu tempat tersembunyi di dalam pesawat tersebut. Maka ia ngotot memaksa sang pilot untuk melakukan pencarian sekali lagi ke seluruh bagian pesawat, termasuk bagasi di mana peti mati suaminya berada.
    Ternyata kecurigaan Kyle terbukti. Ada orang jahat di pesawat itu. Kyle yang histeris karena kehilangan putrinya, dituduh sebagai pembajak yang menginginkan uang tebusan sebesar 50 juta US dolar.
    Penjahat itu berhasil meyakinkan kapten kapal untuk melakukan pendaratan darurat di Labrador setelah ia meletakkan alat peledak di peti mati suami Kyle di bagasi. Di situ pula ia menyembunyikan Julia.
    Di bandara Labrador ini, Kyle harus bertarung dengan penjahat itu demi mendapatkan kembali putri kesayangannya. Sudah bisa diduga dong siapa yang memenangi pertarungan ini.
    Film action yang tidak istimewa ini kembali menghadirkan sosok Jodie Foster sebagai perempuan perkasa yang mesti melawan penjahat. Tentu saja ada adegan tembak-menembak khas Hollywood yang mewarnai pertarungan sang jagoan dengan si bandit.
    Entah mengapa, sejak perannya sebagai agen FBI di The Silence of The Lambs yang menghadiahinya sebiji Oscar sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, Jodie kerap kebagian peran stereotip sebagai perempuan jagoan. Terakhir, peran yang sama dimainkannya di film teranyarnya, The Brave One. Apa dia tidak bosan ya atau tidak ingin mencoba peran-peran antagonis yang lebih menantang? sayang banget kan, kalau talenta keaktrisannya cuma terjebak pada peran-peran yang tak jauh berbeda dari satu film ke film lainnya.


    endah sulwesi
    Jumat, 21 Desember 2007
    THE TWILIGHT SAMURAI


    Judul:The Twilight Samurai
    Sutradara: Yoji Yamada
    Skenario: Yoji Yamada & Yoshitaka Asama
    Pemain: Hiroyuki Sanada, Rie Miyazawa dll.
    Tahun: 2003

    Sejarah Negeri Jepang tak pernah bisa dilepaskan dari para samurainya. Para ksatria (biasanya mengabdi pada kaisar/kerajaan) ini selalu digambarkan dalam busana tradisional Jepang kuno (kimono, obi, kuncir rambut dan tentu saja senjata khas mereka : pedang panjang yang tersandang di punggung) dengan penampilan yang gagah berani. Berperawakan tegap kekar dan kerjanya bertarung melulu, entah demi alasan membela negara ataupun demi martabat dan harga diri. Karakter bangsa Jepang yang sekarang kita jumpai (terutama budaya malu) pastilah berakar dari budaya tua para samurai ini.

    The Twilight Samurai adalah juga sebuah kisah tentang seorang samurai bernama Seibei Iguchi (Hiroyuki Sanada) yang hidup di akhir abad 19 tepatnya tahun 1868. Sepeninggal istrinya yang wafat karena sakit TBC, Iguchi yang pendiam dan rendah hati itu harus terus melanjutkan hidupnya yang sederhana. Sebagai seorang juru tulis dengan upah rendah ia dan keluarganya (2 orang anak perempuan serta seorang ibu yang telah renta dan pikun) hidup serba pas-pasan. Bahkan seringkali mereka tak punya beras untuk makan esok hari. Kendati demikian mereka selalu tampak bahagia. Ia mencintai kedua orang putrinya dan membebaskan mereka sekolah dan membaca buku seperti anak-anak lelaki. Sikapnya tersebut menjadi istimewa untuk ukuran kehidupan di Jepang masa itu yang umumnya hanya mengajari anak-anak perempuan mereka dengan pengetahuan menjahit dan memasak.

    Iguchi tak pernah bercita-cita memilih jalan pedang alias menjadi seorang samurai sepanjang sisa umurnya. Ia lebih suka bertani dan berkebun di pekarangan rumahnya yang tak seberapa luas itu bersama putri-putri tercintanya. Ia juga tak pernah berniat untuk menikah kembali sampai pada suatu hari ia berjumpa dengan sahabat lamanya yang mengubah jalan hidupnya kemudian. Melalui sahabatnya ini ia dipertemukan kembali dengan kekasih dari masa remajanya, Tomoe Linuma (Rie Miyazawa). Tomoe adalah mimpi masa lalunya yang hadir kembali. Wanita cantik adik Linuma itu, kini berstatus janda karena tak tahan hidup sebagai istri seorang pemabuk yang sering memukul.

    Malam itu, saat Iguchi mengantarkan Tomoe pulang, menjadi awal baru kehidupan mereka. Iguchi terpaksa menerima tantangan berduel mantan suami Tomoe yang merasa tersinggung karena Iguchi ikut campur melerai pertengkarannya dengan Tomoe. Maka keesokan harinya, pada jam dan tempat yang telah ditentukan, bertarunglah mereka. Pemenangnya tentu saja Iguchi.


    Sejak itu, tersebarlah dari mulut ke mulut cerita tentang kemenangannya tersebut. Teman-temannya yang semula sering mengolok-oloknya dengan sebutan "Twilight Iguchi" berubah sikap menghormatinya. Bukan itu saja, hubungannya dengan Tomoe pun lalu makin dekat. Tomoe jadi sering bertandang ke rumahnya, mengurusi kedua putri Iguchi dan mengajari mereka dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Kisah tentang kemenangannya itu pula yang akhirnya membawanya ke jalan pedang untuk menjadi seorang samurai tanpa bisa ditolaknya. Majikannya memerintahkannya untuk bertarung sampai mati dengan Zenemon Yogo (Min Tanaka) dengan imbalan dihapusnya semua utang selama pengobatan sampai meninggalnya istrinya. Iguchi tak punya pilihan lain.

    Sebuah kisah drama yang melankolis dengan alur yang boleh dibilang lambat. Sutradara Yoji Yamada memilih gaya penceritaan naratif dalam menyampaikan kisahnya ini. Iguchi sebagai tokoh utama film ini, diceritakan melalui narasi putrinya, Ito (Erina Hashiguchi) yang saat peristiwa itu berlangsung baru berusia 5 tahun. Yamada cukup cermat dalam urusan detail. Kostum dan make up para pemain yang bersetting akhir tahun 1800-an tampak pas. Begitu pula ilustrasi musiknya. Beberapa adegan tentang adat dan kebiasaan pada zaman itu tampil wajar, bukan sekedar embel-embel semata.


    Setelah menyaksikan The Twilight Samurai ini, sense-nya jadi terasa beda ketika saya nonton The Last Samurai dengan Tom Cruise sebagai bintangnya. Koreografi duel antara Iguchi dengan Yogo rasanya lebih indah dan alamiah ketimbang adegan perkelahian di The Last Samurai yang tampak terlalu canggih untuk ukuran zaman itu. Pun sosok Tom Cruise sebagai samurai terlalu super hero dan tak terkalahkan. Itu yang sering membuat saya merasa 'terganggu' : sangat Hollywood. Hehehe.

    Film yang naskahnya ditulis berdasarkan novel karya Tasogare Seibei ini pun berakhir bahagia dengan kemenangan bagi sang pahlawan. Namun kemenangan dan kebahagiaan itu rasanya tampak amat elegan sehingga saya bisa menerimanya tanpa protes. Hehehe. Ah ya, film inipun membuat saya teringat kembali pada kisah Musashi dan soul matenya, Otsu. Film ini salah satu nominator Oscar 2004 untuk kategori best foreign language film.
    Kamis, 13 Desember 2007
    MARIE ANTOINETTE

    Judul film: Marie Antoinette
    Sutradara: Sofia Coppola
    Skenario: Sofia Coppola
    Pemain: Kirsten Dunst, Jason Schwartzman, Judy Davis, dll.
    Masa putar: 123 menit
    Tahun: 2006
    Produksi: Columbia Pictures.

    Pekan lalu sembari menghabiskan malam minggu di rumahku di Puncak bersama Ita Siregar yang datang menginap, kami putar film Marie Antoinette. Film garapan sutradara cewek berdarah Italia, Sofia Coppola, ini dibuat tahun 2006 dan berhasil menggondol sebiji Oscar untuk Milena Canonero atas kerja apiknya sebagai perancang kostum.

    Bicara kostumnya, harus diakui dengan acungan dua jempol, hasil rancangan Canonero memang keren banget. Jalan cerita film yang garing lumayan terbayar oleh pameran kostum-kostum para bangsawan Prancis tempo doeloe yang serba mewah dan elegan. Di layar kita seperti menyaksikan sebuah ajang peragaan busana dari abad silam. Warna, model, serta tata rias wajah dan rambut para artis itu benar-benar memanjakan mata penonton. Rasanya memang pantas diganjar Oscar.

    Kisahnya sendiri tidak istimewa. Maunya sih mungkin memvisualkan sepotong biografi Marie Antoinette, permaisuri Raja Louis XVI yang tercatat dalam sejarah Prancis sebagai permaisuri yang korup dan senang berfoya-foya sementara rakyat menderita.

    Marie Antoinette (Kirsten Dunst) yang berasal dari Austria, pada usia 14 tahun harus menerima takdirnya dijodohkan dengan putra mahkota Raja Prancis, Louis XV. Pangeran yang kelak menggantikan ayahnya dengan gelar Louis XVI (Jason Schwartzman) ini ternyata seorang pemuda pemalu. Tidak seperti ayahnya, Louis Junior lebih suka berburu binatang buas di hutan ketimbang berburu wanita cantik. Alhasil, setelah menikah dengan Marie Antoinette pun ia butuh waktu cukup lama untuk bisa melakukan hubungan intim layaknya suami istri.

    Sepeninggal ayahnya, Louis Junior segera naik takhta sebagai Raja Prancis yang baru. Sikapnya yang dingin kepada perempuan tak kunjung berubah. Ia menjadi suami setia bagi Marie Antoinette. Namun, bagi permaisuri muda yang penuh gairah dan senang berpesta itu, suaminya yang adem ayem itu sungguh sangat tidak menggairahkan secara seksual. Marie lantas mencari pelarian dengan lebih sering lagi bersenang-senang bersama teman-temannya dari kalangan borjuis.

    Sampai suatu ketika ia berjumpa dan berkenalan dengan seorang tentara Swedia, Count Fersen (Jamie Dornan). Sang Count yang terkenal playboy segera saja berhasil memikat hati Marie. Perselingkuhan pun tak terbendung lagi. Pada pribadi Fersen, Marie menemukan gairah bercinta yang menggelora yang tak pernah ia dapatkan dari sang suami.

    Tadinya, aku mengira bagian affair ini akan mendapat porsi yang cukup besar. Tetapi ternyata hanya ditampilkan sedikit saja sekadar menjadi bumbu erotisme dalam keseluruhan film. Maka, aku lantas mengalihkan harapan pada karakter Marie yang mungkin akan digarap secara utuh dan mendalam.

    Uh, tetapi sekali lagi aku terpaksa kecewa, sebab harapanku tak terwujud. Meski karakter sentral film ini Marie Antoinette, namun Sofia Coppola sebagai sutradara merangkap penulis naskah yang diangkat dari buku berjudul Marie Antoinette: The Journey (Lady Antonia Fraser) ini hanya menyuguhkan bagian permukaan saja. Situasi social politik di luar istana pun tidak pernah muncul di layar. Hanya pada menit-menit menjelang film berakhir barulah mereka sejenak ditampilkan. Itu pun seperti adegan tempelan yang terkesan dipaksakan (segerombol orang–mungkin golongan petani dan buruh– melakukan unjuk rasa di depan istana dengan mengacung-acungkan berbagai senjata tajam dan alat-alat pertanian).

    Yah, pada akhirnya menurutku film besutan putri Francis Ford Coppola ini datar banget (untuk tidak menyebutnya, hmm, buruk). Permainan Kirsten Dunst juga biasa-biasa saja. (kenapa si Mary Jane ini sih yang dipilih? Wajahnya tak cukup bertampang ningrat Eropa gitu loh).

    Oya, ada satu hal yang menggelitikku dalam film ini, yakni: soundtrack-nya yang mengambil warna musik masa kini.***

    ENDAH SULWESI 13/12
    Minggu, 02 Desember 2007
    THE MOTHER

    Judul: The Mother

    SutradarA: Roger Michell

    Pemain: Anne Reid, Peter Vaughan, Anna Wilson-Joh

    Tahun: 2004


    Dalam kehidupan ini, kita selalu mengharapkan sebuah karakter protagonis dari seorang ibu. Ibu adalah sesosok manusia dengan karakter mulia bagai malaikat. Ibu adalah juga pahlawan yang selalu siap berkorban jiwa raga bagi anak-anaknya. Seorang ibu tak boleh melakukan hal-hal tabu yang memalukan. Ibu haruslah sempurna seperti guci porselen, jika retak sedikit saja, ia tak lagi berharga.

    Kita sering lupa bahwa seorang ibu adalah juga manusia biasa yang memiliki kebutuhan yang sama seperti orang lain. Ia butuh cinta, kasih sayang, perhatian dan seks. Penilaian masyarakat kita sering tidak adil kepada perempuan.Apalagi jika perempuan itu berstatus janda. Pandangan orang segera saja menjadi negatif kepada janda tersebut. Tidak demikian kepada para lelaki yang berstatus duda. Para duda seolah-olah lebih pantas dan sah-sah saja kalau mencari lagi pasangan dan mereka tidak dianggap sebagai sebuah 'ancaman'. Beda jika itu dilakukan oleh perempuan-perempuan yang bergelar janda. Masyarakat sering mencibir sambil bergumam , "Oh..pantesan begitu, janda sih" Apakah setelah menjanda (baik karena perceraian ataupun karena kematian suami) dunia bagi para perempuan itu berarti berakhir? Apakah lalu menjadi sesuatu yang tabu bagi mereka jika mereka berpacaran dan menikah kembali? Mungkin juga ya bila yang dipacarinya adalah kekasih putrinya.

    May (Anne Reid) baru saja ditinggal mati suaminya, Toots, saat mereka sedang berkunjung ke rumah anak-anak mereka di London. Hidup bagi May lalu terasa amat sepi. Kedua anaknya, Bobby dan Paula, masing-masing telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri. Untuk kembali ke rumahnya, ia tak sanggup karena pasti akan tambah kesepian di sana. Maka ia lalu memutuskan untuk tinggal bersama anak-anaknya di London, bergiliran antara rumah Paula dan Bobby.

    Kehidupannya sebagai ibu dari dua orang anak yang telah dewasa dan nenek bagi tiga orang cucu tadinya normal-normal saja sampai kemudian ia berjumpa dan berkenalan dengan Darren, lelaki yang bekerja di rumah Bobby dan juga adalah pacar Paula. Darren sesungguhnya telah beristri dan punya satu orang putra yang mengidap autisme. Kepada Paula, Darren bercerita bahwa kehidupan rumah tangganya tidak lagi harmonis ( Modus operandi para bedebah yang sudah basi ya?? hehehe). Sekian lama berpacaran, Paula masih ragu akan kesungguhan Darren untuk meninggalkan istrinya dan segera menikah dengannya.

    Maka lalu ia curhat kepada May, ibunya. Ia minta tolong agar May bicara kepada Darren. Paula berharap jika May yang bicara Darren akan mendengarkan dan berakibat baik bagi hubungan mereka. May bersedia menjadi jembatan bagi mereka.

    Namun, yang terjadi tak seperti yang diharapkan Paula. May justru jatuh cinta pada kekasihnya itu. Darren, lelaki pecundang yang selalu tak punya uang, meladeni dan menikmati perhatian May kepadanya. Merela lalu sering berkencan dan bercinta ketika semua orang pergi bekerja. Kehadiran cinta yang panas di usia tuanya, membuat May yang pemurung menjadi ceria. Ia sering kedapatan tengah bersenandung sendiri saat memasak atau mengepel lantai.

    Sampai sebegitu jauh tak ada seorang anaknyapun yang curiga. May yang mereka kenal adalah seorang ibu rumah tangga yang setia dan selalu patuh pada suami. Mereka tak pernah berpikiran bahwa ibu mereka juga bisa jatuh cinta lagi dan memiliki gairah yang sama seperti anak-anak muda yang tengah kasmaran.

    Ketika akhirnya semua terbongkar, tak ada yang bisa dilakukan May selain ke luar dari rumah anak-anaknya dan kembali ke rumahnya sendiri. Ia harus merelakan Darren bagi putrinya, Paula.

    The Mother, bercerita tentang seorang ibu dengan perilaku yang 'tidak sempurna' sebagai ibu. May adalah seorang ibu yang baik, setia dan penuh perhatian sekaligus seorang perempuan penuh gelora dan sedikit posesif. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak macam-macam tetapi juga seorang perempuan dengan gairah dan nafsu liar wanita muda yang tengah jatuh cinta.

    Cerita The Mother ini menurut saya adalah sebuah kisah yang sangat manusiawi. May tidaklah ditampilkan sebagai seorang dengan sifat yang buruk (antagonis), walaupun dalam film ini ia berperan sebagai tokoh 'jahat' yang merebut kekasih putrinya sendiri. Demikian juga Darren dan Paula, adalah juga sosok-sosok yang tidak sempurna sebagai manusia. Saya tidak bisa berpihak pada siapapun. Tidak pada May, tidak juga pada Paula. Saya bisa memahami masalah yang terjadi. Tentulah amat menyakitkan bagi seseorang yang kehilangan kekasih, apalagi kekasih itu direbut oleh ibunya sendiri. Namun, saya juga bisa mengerti kesepian dan cinta yang dirasakan May. Dan bukankah kita menjadi sempurna sebagai manusia justru karena kita berada di wilayah abu-abu? ***ENDAH SULWESI***
    PRIME


    Judul film: Prime
    Sutradara: Ben Younger
    Skenario: Ben Younger
    Pemain: Meryl Streep, Uma Thurman, Bryan Greenberg
    Durasi: 105 menit
    Genre: drama
    Tahun: 2005

    Ini bukan film baru. Ini film produksi tahun 2005. Film drama semi komedi ini mengangkat tema “kecil” saja tentang percintaan beda usia antara Rafi Gardet (Uma Thurman) yang berusia 37 tahun dengan David Bloomberg (Bryan Greenberg), 23 tahun. Rafi yang baru saja bercerai dengan suaminya ternyata tak perlu menunggu lama untuk jatuh cinta kembali. Hanya sehari setelah perceraiannya itu ia berkenalan dengan David, anak muda kinyis-kinyis yang doyan melukis. Perbedaan usia mereka yang cukup banyak itu, mulanya sempat mengganggu perasaan Rafi. Ia merasa hubungan beda umur tersebut tidak pantas dijalaninya.

    Namun, berkat dorongan dan dukungan terapisnya, Liza Metzger (Meryl Streep), Rafi memperoleh kembali kepercayaan dirinya dan melanjutkan hubungan cintanya dengan David. Setiap perkembangannya selalu ia laporkan kepada Liza. Dengan demikian Liza mengetahui setiap detailnya. Bahkan, sampai soal ukuran penis David.

    Sementara itu, bagi David juga tak mudah. Sebagai anak lelaki tertua di keluarganya yang penganut Yahudi fanatik, ia diwajibkan menikah dengan perempuan Yahudi pula. Karuan saja hubungannya dengan Rafi mendapat tentangan keras dari keluarganya, terutama dari sang ibu yang terkejut setengah mati mengetahui anaknya berpacaran dengan perempuan bukan Yahudi yang usianya jauh lebih tua. Tetapi Rafi yang masih tinggal dengan kakek neneknya itu tak peduli. Ia nekad meneruskan hubungannya dengan Rafi. Bagi David, Rafi adalah kekasih yang sangat mengerti dirinya dibandingkan siapapun. Dari Rafi pula ia memperoleh keyakinan diri untuk meneruskan kariernya sebagai pelukis.

    Persoalan drama garapan sutradara muda kelahiran Brooklyn, 7 Oktober 1972 ini, tak berhenti sampai di situ. Bertambah menarik karena ternyata David adalah putra Liza. Liza dihadapkan pada masalah yang sulit. Di satu sisi, Rafi adalah pasien yang membutuhkan dorongan semangat; sedangkan di pihak lain, ia tidak setuju jika hubungan itu melibatkan putra kesayangannya. Ya, memang jauh lebih gampang “menyelesaikan” problem orang lain. Namun, ketika problem yang sama menimpa kita, belum tentu kita akan menyelesaikannya dengan cara yang sama pula seperti yang kita sarankan kepada orang tersebut.

    Sebuah drama yang menarik. Lantaran ada kemiripan usia antara saya dengan Rafi, mau tidak mau saya jadi sedikit terhanyut. Bagaimana ya kalau saya dihadapkan pada masalah yang sama? Bukan soal Yahudinya, tetapi perkara percintaannya itu. Mungkinkah suatu ketika saya, tanpa mampu menolak, tiba-tiba jatuh cinta pada “bocah” yang usianya jauh di bawah saya? Kira-kira apa yang akan saya lakukan?

    Ah..kok jadi melantur ke mana-mana. Kembali ke film ini saja lagi. Tentu saja, film ini menjadi asyik ditonton berkat pameran akting kedua aktris papan atas Hollywood : Meryl Streep dan Uma Thurman. Inilah untuk pertama kalinya keduanya beradu akting dalam film yang sama. Meryl Streep, si langganan nominee Oscar dan Golden Globe itu, seperti biasa bermain sangat wajar sebagai seorang terapis profesional sekaligus ibu yang konservatif. Selalu saja enak menyaksikan setiap peran yag dimainkannya. Menjadi siapa dan apa pun, aktris gaek bernama lengkap Mary Louise Streep ini, selalu tampil menawan. Dunia film dan akting telah mendarah daging dalam diri perempuan berusia 58 tahun ini.

    Tak kalah bersinar adalah Uma Thurman. Mantan istri Ethan Hawke ini mampu mengimbangi permainan seniornya itu. Yang sedikit kurang pas barangkali adalah tokoh David. Meskipun ganteng, tampang Bryan Greenberg rasanya agak terlalu tua untuk “bocah” lelaki usia 23 tahun.***endah sulwesi***
    Sabtu, 01 Desember 2007
    THE BRAVE ONE

    Kira-kira sebulan yang silam saya berkesempatan menonton film terbaru Jodie Foster: The Brave One. Sudah lama sekali saya tidak menonton film di bioskop. Selain karena waktu yang sering tidak memungkinkan (sok sibuk) pun karena maraknya DVD bajakan yang murah meriah. Hanya dengan uang 7.000 perak, kita sudah bisa menyaksikan film apa saja. Dari yang paling baru hingga film-film jadul (jaman dulu). Nontonnya pun bisa sambil santai di rumah. Jadi saya pikir buat apa lagi ke bioskop?

    Namun khusus untuk film The Brave One ini saya sempatkan ke bioskop hanya karena faktor Jodie Foster-nya. Ya, saya penggemar berat aktris peraih Oscar dua kali untuk perannya di The Accused (1988) dan The Silence of The Lambs (1991) ini.

    Dalam The Brave One, perempuan cantik kelahiran 19 November 1962 ini berperan sebagai Erica Bain, seorang penyiar radio di New York City, sebuah kota yang sangat tidak ramah kepada penduduknya. Kriminalitas terjadi setiap hari di sana. Rasa nyaman dan aman nyaris tak lagi dimiliki orang-orang di kota berjuluk “The Big Apple” ini. Setiap sudutnya menyimpan ancaman dan teror. Di kereta api, di bus kota, di jalan-jalan, bahkan di rumah. Dan Erica salah seorang korbannya.

    Pada suatu senja yang cerah di sebuah taman kota, Erica dan tunangannya, David (Naveen Andrews), diserang dengan sangat brutal oleh sekelompok anak muda berandal. Motif penyerangan tersebut adalah perampokan yang mengakibatkan tewasnya David secara mengenaskan. Erica sendiri menderita luka-luka parah yang memerlukan perawatan lama di rumah sakit. Tetapi yang terparah adalah perasaan trauma yang terus menghantui hari-harinya. Ia tak lagi dapat tidur nyenyak dan tidak berani meninggalkan apartemennya.

    Namun, hidup harus tetap dilanjutkan. Erica memutuskan untuk melawani rasa takut yang mengungkungnya dan bertekad membalas dendam kepada para bandit yang telah merenggut nyawa kekasihnya itu. Dengan pestol revolver ilegal, penyiar radio yang semula tampak rapuh itu menjelma pembunuh tak kenal ampun; yang tanpa segan menghabisi para pria pelaku kejahatan dengan peluru-peluru pestolnya.

    Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan Erica bukan semata-mata karena kesumat. Sebenarnya yang diinginkannya adalah polisi segera menindaklanjuti dan mengusut tuntas kasus kriminal yang menimpa dirinya itu. Akan tetapi kinerja polisi dan aparat hukum New York tak selamanya bisa diandalkan. Erica merasa mereka terlalu lamban bekerja. Sampai sekian lama, polisi tak berhasil menangkap satu pun pelakunya. Lenyaplah kepercayaan Erica pada polisi. Maka, ia pun lantas memilih untuk menyelesaikannya sendiri.

    Kejadian naas yang dialami Erica bisa terjadi di mana pun dan menimpa siapa saja, terutama mereka yang bermukim di kota-kota besar. Khususnya lagi kaum perempuan, makhluk paling rentan terhadap tindak kejahatan dan kekerasan.

    Seberapa sering sudah kita baca dan saksikan berita di koran dan televisi tentang kejahatan terhadap perempuan? Korban perampokan di taksi umumnya perempuan. Korban penjambretan juga lebih banyak perempuan. Tak perlu menunggu malam, siang bolong pun tak aman lagi.

    Dan polisi, seperti halnya di film besutan Neil Jordan itu, tak terlalu bisa diharapkan bantuannya. Rasanya nyaris tak pernah ada kasus perampokan taksi yang berhasil diungkap polisi. Boro-boro ditangkap penjahatnya, perusahaan taksi yang bersangkutan pun tak pernah mendapat sanksi apa-apa. Seharusnya kepada perusahaan taksi yang tersangkut perkara dapat dikenakan “hukuman” berupa skorsing tak boleh beroperasi selama jangka waktu tertentu sebagai bentuk pertanggungjawaban dan supaya mereka lebih mendisiplinkan lagi para awaknya.

    Lebih menyebalkan lagi pada kasus perkosaan. Lelaki pelakunya tak pernah dijatuhi hukuman yang benar-benar berat. Paling-paling hanya hukuman kurungan bui selama beberapa tahun. Sementara, si perempuan yang jadi korban harus memikul aib dan menanggung trauma seumur hidup. Sungguh tidak adil. Mestinya, hukuman yang pantas bagi para penjahat kelamin ini adalah hukuman mati. Boleh pilih, di tiang gantungan atau disengat kursi listrik sampai gosong. Sebab, perkosaan merupakan kejahatan tingkat tinggi. Apa lagi jika dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri.

    Maka, ketika masyarakat sudah mulai sering main hakim sendiri, sepatutnyalah pihak penegak hukum introspeksi dan segera memperbaiki diri. Jangan sampai warga, seperti halnya Erica, akhirnya mempersenjatai diri sendiri lantaran merasa hidupnya selalu terancam dan tidak aman lagi.***Endah Sulwesi***