Kira-kira sebulan yang silam saya berkesempatan menonton film terbaru Jodie Foster: The Brave One. Sudah lama sekali saya tidak menonton film di bioskop. Selain karena waktu yang sering tidak memungkinkan (sok sibuk) pun karena maraknya DVD bajakan yang murah meriah. Hanya dengan uang 7.000 perak, kita sudah bisa menyaksikan film apa saja. Dari yang paling baru hingga film-film jadul (jaman dulu). Nontonnya pun bisa sambil santai di rumah. Jadi saya pikir buat apa lagi ke bioskop?
Namun khusus untuk film The Brave One ini saya sempatkan ke bioskop hanya karena faktor Jodie Foster-nya. Ya, saya penggemar berat aktris peraih Oscar dua kali untuk perannya di The Accused (1988) dan The Silence of The Lambs (1991) ini.
Dalam The Brave One, perempuan cantik kelahiran 19 November 1962 ini berperan sebagai Erica Bain, seorang penyiar radio di New York City, sebuah kota yang sangat tidak ramah kepada penduduknya. Kriminalitas terjadi setiap hari di sana. Rasa nyaman dan aman nyaris tak lagi dimiliki orang-orang di kota berjuluk “The Big Apple” ini. Setiap sudutnya menyimpan ancaman dan teror. Di kereta api, di bus kota, di jalan-jalan, bahkan di rumah. Dan Erica salah seorang korbannya.
Pada suatu senja yang cerah di sebuah taman kota, Erica dan tunangannya, David (Naveen Andrews), diserang dengan sangat brutal oleh sekelompok anak muda berandal. Motif penyerangan tersebut adalah perampokan yang mengakibatkan tewasnya David secara mengenaskan. Erica sendiri menderita luka-luka parah yang memerlukan perawatan lama di rumah sakit. Tetapi yang terparah adalah perasaan trauma yang terus menghantui hari-harinya. Ia tak lagi dapat tidur nyenyak dan tidak berani meninggalkan apartemennya.
Namun, hidup harus tetap dilanjutkan. Erica memutuskan untuk melawani rasa takut yang mengungkungnya dan bertekad membalas dendam kepada para bandit yang telah merenggut nyawa kekasihnya itu. Dengan pestol revolver ilegal, penyiar radio yang semula tampak rapuh itu menjelma pembunuh tak kenal ampun; yang tanpa segan menghabisi para pria pelaku kejahatan dengan peluru-peluru pestolnya.
Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan Erica bukan semata-mata karena kesumat. Sebenarnya yang diinginkannya adalah polisi segera menindaklanjuti dan mengusut tuntas kasus kriminal yang menimpa dirinya itu. Akan tetapi kinerja polisi dan aparat hukum New York tak selamanya bisa diandalkan. Erica merasa mereka terlalu lamban bekerja. Sampai sekian lama, polisi tak berhasil menangkap satu pun pelakunya. Lenyaplah kepercayaan Erica pada polisi. Maka, ia pun lantas memilih untuk menyelesaikannya sendiri.
Kejadian naas yang dialami Erica bisa terjadi di mana pun dan menimpa siapa saja, terutama mereka yang bermukim di kota-kota besar. Khususnya lagi kaum perempuan, makhluk paling rentan terhadap tindak kejahatan dan kekerasan.
Seberapa sering sudah kita baca dan saksikan berita di koran dan televisi tentang kejahatan terhadap perempuan? Korban perampokan di taksi umumnya perempuan. Korban penjambretan juga lebih banyak perempuan. Tak perlu menunggu malam, siang bolong pun tak aman lagi.
Dan polisi, seperti halnya di film besutan Neil Jordan itu, tak terlalu bisa diharapkan bantuannya. Rasanya nyaris tak pernah ada kasus perampokan taksi yang berhasil diungkap polisi. Boro-boro ditangkap penjahatnya, perusahaan taksi yang bersangkutan pun tak pernah mendapat sanksi apa-apa. Seharusnya kepada perusahaan taksi yang tersangkut perkara dapat dikenakan “hukuman” berupa skorsing tak boleh beroperasi selama jangka waktu tertentu sebagai bentuk pertanggungjawaban dan supaya mereka lebih mendisiplinkan lagi para awaknya.
Lebih menyebalkan lagi pada kasus perkosaan. Lelaki pelakunya tak pernah dijatuhi hukuman yang benar-benar berat. Paling-paling hanya hukuman kurungan bui selama beberapa tahun. Sementara, si perempuan yang jadi korban harus memikul aib dan menanggung trauma seumur hidup. Sungguh tidak adil. Mestinya, hukuman yang pantas bagi para penjahat kelamin ini adalah hukuman mati. Boleh pilih, di tiang gantungan atau disengat kursi listrik sampai gosong. Sebab, perkosaan merupakan kejahatan tingkat tinggi. Apa lagi jika dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya sendiri.
Maka, ketika masyarakat sudah mulai sering main hakim sendiri, sepatutnyalah pihak penegak hukum introspeksi dan segera memperbaiki diri. Jangan sampai warga, seperti halnya Erica, akhirnya mempersenjatai diri sendiri lantaran merasa hidupnya selalu terancam dan tidak aman lagi.***Endah Sulwesi*** |