Jumat, 21 September 2012
RAYYA CAHAYA DI ATAS CAHAYA (2012)
Viva Westi
Satu lagi road movie lokal tahun
ini setelah Mama Cake. Selain sama-sama road movie, kedua film ini mengusung
tema pencarian jati diri. Perjalanan masuk ke dalam diri sendiri dalam upaya
mengenali dan menemukan kebahagiaan. Bedanya, kalau Mama Cake mengambil
Sudah menjadi kebiasaan saya
setiap menonton film, faktor sutradara menjadi pertimbangan utama. Dan di
poster film ini (posternya keren, saya suka) saya menemukan nama Viva Westi.
Saya berusaha keras membongkar memori otak saya yang siapa tahu menyimpan file
bersubyek Viva Westi. Blank. Setelah pulang dan browsing, barulah saya tahu
bahwa Viva Westi seorang pemain, penulis skenario, dan sutradara film.
Film-filmnya antara lain Suster N (2007) dan May (2009). Ah, pantas saja otak
saya tidak berhasil mendeteksi namanya, karena saya belum pernah nonton
film-filmnya.
Lalu, ada nama Emha Ainun Nadjib
selaku penulis naskah. Ahai! Kyai mbeling ini sudah merambah layar lebar
rupanya. Judul film ini memang sekejap mengingatkan saya pada buku kumpulan
puisinya, Cahaya Maha Cahaya.
Berikutnya, Titi Sjuman. Oke,
Dari beberapa filmnya yang saya tonton, dia bermain lumayan (misalnya di
Serdadu Kumbang).
Kemudian, sebuah nama besar di
jajaran aktor
Dan satu lagi, sebuah nama yang
membikin saya penasaran: Richard Oh. Dia ini lebih dikenal di ranah sastra
ketimbang dunia film, meskipun pernah terlibat di film Koper (2006) sebagai
penulis naskah.
Sekarang, kita masuk ke filmnya.
Sebuah pembukaan yang kurang
apik, berlanjut menjadi menit-menit yang terasa membosankan oleh Rayya (Titi
Sjuman) yang pemarah. Saya mengancam akan pulang saja kalau sampai sepuluh
menit lagi masih bikin bete. Tapi, untunglah Arya (Tio Pakusadewo) segera
muncul dan cerita pelan-pelan mulai terasa menarik.
Berikutnya, drama perjalanan pun
dimulai. Rayya yang temperamental, berkat kesabaran (dan rayuan) Arya menjadi
lebih "jinak". Kita akhirnya memaklumi kenapa dia menjerit-jerit
histeris di awal tadi. Walaupun demikian, menurut saya, mestinya kemarahan itu
tidak perlu ditunjukkan dengan akting berteriak-teriak seperti di sinetron
gazebo. Di sini, Titi Sjuman gagal menyajikan sebuah permainan yang baik.
Selanjutnya, ketika cerita film
mulai mengalir lewat percakapan intens Rayya dan Arya, saya menikmatinya.
Rayya, seorang bintang film
terkenal. Dia sedang menggarap sebuah buku biografi bersama sebuah tim yang
didanai oleh
Ditunjuklah Kemal sebagai
fotografer. Tetapi belum lagi mulai, mereka sudah bentrok. Rayya yang sedang
kisruh karena patah hati, jadi sering senewen. Buntutnya, ia memecat Kemal.
Kemudian, tim mencari pengganti Kemal dan hadirlah Arya, seorang fotografer
senior yang tengah bermasalah dengan istrinya. Maka, dimulailah drama yang
sesungguhnya.
Selama berhari-hari mereka
melakukan perjalanan keliling Jawa dan
Bagitulah, Saudara-Saudara. Film
ini cukup enak ditonton. Selain karena ceritanya lumayan, juga karena
menyajikan gambar-gambar yang indah dan puitis yang memanjakan mata.
Saran saya, jika di awal kamu
merasa bete seperti saya, bertahanlah, karena sebentar lagi kamu akan bisa
menikmati filmnya.
|
Jumat, 14 September 2012
MAMA CAKE (2012)
Sutradara: Anggy Umbara
10 dari Saya untuk MAMA CAKE
Pertama, mau ngaku dosa dulu:
ketika membaca judulnya, saya sempat meremehkan film ini. Apaan, sih? Film kok
judulnya Mama Cake? Pasti ini nggak jauh dari film lucu-lucuan yang gazebo.
Beneran nggak masuk daftar film yang ingin saya tonton, bahkan sampai Saudara
Bandhi Abstar yang baik hati menawari saya tiket gratisnya pun saya masih
mikir-mikir. Tetapi, kemarin malam saya punya waktu luang dan teman yang saya
ajak nonton bersedia ikut. Jadi, nontonlah saya berkat traktiran Dik Bandhi
yang konon sudah menonton film ini sebanyak 4 x namun tetap tutup mulut tidak
sudi bercerita sedikit pun tentang film ini. Saya semakin curiga.
Kedua, kecurigaan saya
meningkat ketika melihat jumlah penonton di dalam studio 5 Blok M Square yang
hanya segelintir saja. Kursi yang ada
tidak sampai terisi separuhnya.
Ketiga, film dimulai.
Keempat, aw...aw...aw...
openingnya keren banget. Kami semua ngakak berderai-derai.
Kelima, saya sangat menikmati
film berdurasi 137 menit ini tanpa merasa bosan. Tanpa sempat tertidur.
Keenam, ini memang drama
komedi, tetapi jangan kamu bayangkan ini komedi norak seperti Warkop atau
komedi lain yang mengandalkan kelakar-kelakar slapstik. Boleh dibilang, film
ini bersih dari slapstick. Humor-humurnya yang cerdas muncul lewat
percakapan tokoh-tokoh dan situasi yang dialami tokoh-tokoh tersebut.
Ketujuh, ceritanya kuat dan
fokus. Meskipun di beberapa bagian terjadi "khotbah", tetapi saya
maafkan, karena "cacat" itu terbayar oleh kualitas film ini secara
keseluruhan.
Kedelapan, editingnya mulus
untuk sebuah road movie yang berlangsung sehari semalam ini.
Kesembilan, akting para
pemainnya, Ananda Omesh sebagai Rakha,
Boy William sebagai Willy, dan Arie Dagienkz sebagai Rio, tidak
mengecewakan. Mereka berhasil
menghidupkan film dengan permainan yang wajar. Natural. Begitu juga dengan para pemain pendukung.
Bahkan Candil, vokalis grup musik rock
Seri Serius sukses mencuri perhatian pentonton sebagai pelayan di toko Mama
Cake.
Kesepuluh, selamat untuk Anggy
Umbara atas debutnya yang keren ini.
Pesan moralnya: jangan
mampir-mampir deh kalau disuruh beli brownies sama orang tuamu.
|
Minggu, 08 Juli 2012
THE AMAZING SPIDER-MAN (2012)
Marc Webb
Appetizer
Akhirnya, kesampaian juga nonton
3D di bioskop IMAX di Gandaria City bersama teman-teman dari Grup Cinemags,
gerombolan–bukan saja pecinta, tetapi juga–penggila film. Wah, memang sedap
sekali nonton film di layar cekung gede berukuran 20 x 11 meter itu. Semakin
mantabs (pake “b” dan “s” untuk efek bangeeet) dengan dukungan sistem suara
yang canggih, sehingga seolah-olah kursi kita ikut bergetar setiap ada scene ledakan. Jika disuruh memilih
antara IMAX dan Premiere, jelas saya akan pilih yang pertama. Tempat duduknya
pun nyaman dengan perbedaan tinggi rendah yang ekstrem antara setiap deret
kursi, sehingga tidak akan terjadi tuh kita nonton kepala orang yang duduk di
depan kita. (Dooooh, iklan banget, yak?
IMAX mesti bayar gue, nih :D)
Main Course
Saya suka filmnya, paduan drama,
aksi, dan fantasi yang harmonis. Benar-benar menghibur dan bisa dinikmati semua
usia. Mungkin buat kau yang lebih suka action
akan merasa agak kurang sabar menantikan adegan-adegan perkelahiannya, karena
sampai nyaris separuh film cerita masih berkutat pada dramanya. Tak heran kalau
ada yang sampai ketiduran. (Tapi saya nggak, loh.)
Saya belum pernah membaca komik Spider-Man, jadi tidak tahu apakah
ceritanya setia atau berkhianat pada komiknya itu. Saya cuma bisa
membandingkannya dengan film Spider-Man versi sebelumnya yang dibintangi Tobey
Maguire. Meski inti kisahnya sama, namun tokoh penjahatnya berbeda (syukurnya
berbeda. Coba kalau sama, bisa jadi akan kurang menarik). Dan, belum ada
yang menggantikan romantisme scene Spiderman kissing di Spider-Man (2002). Di TAS ini Peter Parker
alias Spider-Man (Andrew Garfield) tidak berpacaran dengan Mary Jane, tetapi
dengan Gwen Stacy (Emma Stone). Adegan ciumannya kurang heboh :P
Seperti halnya pada serial Batman
dan James Bond, yang paling saya tunggu setiap menonton serial Spiderman terbaru
adalah sajian animasi dan musuh-musuhnya, selain pemeran utamanya. Untunglah,
bagi saya animasi dan efek visual The
Amazing Spider-Man ini cukup keren dan memanjakan fantasi kanak-kanak saya.
Saya jadi membayangkan seorang keponakan saya yang berumur 5 tahun yang sangat
mengidolakan superhero ini. Entah sudah berapa ratus kali dia menonton filmnya.
Dan herannya, setiap kali menonton dia masih saja terlihat tegang di
bagian-bagian perkelahiannya, terutama ketika pahlawannya sedang terpojok dan
hampir kalah. Dia pasti akan semakin tergila-gila pada si manusia laba-laba ini
setelah nonton TAS, walaupun akting para pemainnya tidak ada yang menonjol
(tentu saja, buat keponakan saya perkara akting ini tidak penting :D).
Dessert
Foto-foto bersama teman-teman
sehabis nonton menjadi hidangan penutup sekaligus perekam peristiwa. Jika
kemudian berlanjut dengan makan siang bersama, itu adalah bonus yang
menyenangkan. Apalagi kalau makan siangnya gratis, semakin sedap saja nobarnya.
Mau deh sering-sering nobar :P |
Jumat, 22 Juni 2012
LEWAT DJAM MALAM (1954)
Sebuah Jejak Sejarah
Pertama, saya ingin mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang
telah terlibat dalam upaya menyelamatkan film ini. Mereka antara lain National
Museum of Singapore, Martin Scorcese
yang lewat World Cinema Foundation telah menanggung separuh biaya restorasi
ini, Yayasan Konfiden, Sinematek, Kineforum, dan lain-lain yang telah bekerja keras membuat film ini
menjadi “utuh” dan bisa kita nikmati kembali mulai 21 Juni 2012 di beberapa
bioskop tanah air.
Saya sempat terharu karena
akhirnya berkesempatan menyaksikan film karya Usmar Ismail hasil restorasi ini.
Gambarnya yang semula suram, penuh bercak dan “hujan” kini menjadi terang dan
bersih. Ya, masih ada sih sedikit “gerimis” di beberapa bagian, tetapi itu
sudah jauuuuuh lebih baik daripada sebelumnya. (Saya pernah nonton versi yang
belum direstorasi). Suaranya juga
menjadi jelas, tidak ada lagi bunyi “kresek kresek”. Oh, seandainya Usmar
Ismail atau Asrul Sani masih hidup, mereka pasti akan sesenggukan menyaksikan
karya mereka “hidup” kembali.
Saya tidak akan menceritakan
sinopsisnya, karena itu bisa dengan mudah kautemukan di internet. Saya lebih
suka ngobrolin bahwa film ini adalah semacam arsip sejarah Indonesia tahun
1950-an. Di film ini kita menyaksikan Bandung tempo doeloe dengan Jalan Braga dan Gedung Sate yang terkenal itu. (Bandung
jadul betulan, bukan buatan tim kreatif.) Juga kehidupan masyarakat kita, khususnya
golongan menengah atas, yang gemar berpesta layaknya orang Belanda. Lengkap
dengan dansa-dansi ala Eropa diselingi lagu “Rasa Sayange” yang menjadi semacam
acara berbalas pantun di antara muda-mudinya.
Dan coba perhatikan
gadis-gadisnya. Mereka memakai gaun tanpa lengan seperti noni-noni Belanda. Gaun
selutut itu bagian bawahnya melebar sehingga ketika pemakainya berputar, bagian
bawah gaunnya itu mengembang. Di film
ini, Netty Herawati dan Dhalia tak kalah cantik dari Katherine Hepburn atau Liz
Taylor, deh. Cara mereka menata rambut dan melukis alis juga mirip. Begitu pun pemain prianya. Model rambut dan
gaya sisiran A.N. Alcaf f dan Bambang Hermanto ,James Dean banget dengan kumis
ala Clark Gable. Boleh diadu deh gantengnya. Hehehe.
Lewat penggambaran pesta di film
ini, terlihat juga pergaulan muda-mudi kota zaman itu sudah cukup bebas. Maksud
saya, mereka tidak sungkan-sungkan bermesraan di muka umum.
Musik. Nah, musik yang ditata
oleh GRW Sinsu ini jadi mengingatkan saya pada film Soegija (harusnya terbalik, ya. Hehehehe). Sedap didengar dan nuansa kolonialnya berasa banget. Tak heran jika pada FII 1955 di Jakarta, film
ini memenangi penghargaan untuk kategori Tata Musik Terbaik.
Bagaimana dengan akting para
pemainnya? Hmm, masih standar, sih, tetapi lumayan, terutama Bambang Hermanto
yang berperan sebagi Puja, mantan pemuda pejuang yang menjadi centeng rumah bordil.
(Sempat heran melihatnya begitu ramping
dan tampan, sebab yang teringat di memori saya actor ini bertubuh tambun.) AN
Alcaff juga cukup menjiwai perannya sebagai Iskandar, mantan pemuda pejuang
idealis yang frustrasi melihat negeri yang diperjuangkannya ternyata menjadi
negeri yang korup. (Gimana kalau
Iskandar hidup di masa sekarang, ya? Pasti sudah sakit jiwa dia.)
Singkatnya (plaaaak!), Lewat Djam Malam adalah film klasik
Indonesia yang (mestinya) wajib ditonton para penikmat dan penggila film.
|
Kamis, 21 Juni 2012
SANG PENARI
Terima Kasih, Ifa.
Empat jempol untuk
penyutradaraan dan akting Oka Antara sebagai Rasus dan Prisia Nasution
sebagai Srintil yang sungguh terpuji. Rasanya mereka pantas dicalonkan
untuk mendapat Citra di FFI. Jangan lagi Landung Smatupang dan Slamet
Rahardjo, nggak heran deh kalau mereka bermain bagus. Yang tak kalah
keren adalah Dewi Irawan sebagai Nyai Kertareja. Meski lama tak muncul,
aktingnya masih oke. Suasana Dukuh Paruk berhasil dihadirkan bukan saja
secara visual tetapi juga diperkuat oleh dialog-dialog dalam bahasa
Banyumasan yang medok oleh para pemainnya. Kalau kamu sudah baca
novelnya yang dahsyat itu, kamu akan tahu bahwa Ifa sukses menerjemahkan
naskah tersebut ke dalam gambar. Tentu, ini bukan pekerjaan mudah jika
mengingat novel RDP yang sudah dikenal masyarakat. Selalu ada risiko
menuai kritik dari para pembaca setianya.
Sekarang saya
mengerti mengapa Pak Ahmad Tohari sebagai penulis novel trilogi itu
menangis terharu saat menyaksikan film ini. Sangat berbeda ketika novel
yang sama difilmkan oleh Yazman Yazid menjadi Darah dan Mahkota Ronggeng (1983)
yang hanya mengekspos masalah seksnya dengan Enny Beatrice sebagai
Srintil. Saat itu, Enny Beatrice terkenal sebagai artis yang kerap
bermain dalam film-film hot. Saking kecewanya, Ahmad Tohari
tidak pernah sudi meyaksikan film tersebut. Sampai sekarang pun. Namun,
Ifa telah membayar semua kekcewaan Pak Toh lewat Sang Penari.
Jika
hendak bersetia dengan novelnya, awal mula Srintil menjadi ronggeng
seharusnya pada usia dua belas, ketika ia menadapat haid pertama kali.
Tetapi, dengan pertimbangan moral, Ifa memutuskan sedikit mengubah
bagian itu dengan Srintil yang sudah berusia 17. Keputusan yang bijak,
saya rasa.
Ya, ini kisah yang sarat tradisi lokal, tentang
seorang ronggeng di Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil. Di Dukuh
Paruk yang miskin, keberadaan ronggeng adalah sebuah keharusan
sekaligus anugerah turun temurun. Ronggeng terakhir tewas beserta
beberapa warga dukuh yang lain akibat keracunan tempe bongkrek bikinan
ayah Srintil Srintil waktu itu masih bocah ingusan. Ayah ibu Srintil
akhirnya juga ikut mati oleh tempe buatan mereka sendiri. Untunglah,
Srintil selamat. Kemudian dia diasuh oleh kakeknya (Landung Simatupang).
Srintil
memiliki sahabat, Rasus namanya. Mereka tumbuh bersama dan tanpa sadar
benih-benih cinta telah turut bersemi seiring beranjaknya usia mereka.
Jika Rasus mengisi waktunya dengan bekerja sebagai buruh tani di kebun
singkong, Srintil diam-diam memendam hasrat untuk menjadi ronggeng yang
telah lama tiada di dukuh mereka. Meski Rasus tak setuju dengan
cita-cita Srintil, tetapi takdir lebih berkuasa menjadikan Srintil
sebagai penari. Maka, pada waktu yang telah ditentukan, digelarlah
upacara penobatan Srintil sebagai ronggeng. Selain harus menari, dalam
upacara itu dia juga harus melewati ritual “bukak klambu”. Dalam ritual
ini keperawanan Srintil dilelang dan akan diserahkan kepada penawar
tertinggi.
Dan selanjutnya, Srintil menjelma ronggeng yang
dicintai Dukuh Paruk. Rasus yang tetap tak sepakat, memilih meninggalkan
kampungnya dan kemudian menjadi tentara.
Seiring
perkembangan politik tanah air masa itu, Dukuh Paruk tak luput dari
jangkauan partai komunis. Kemiskinan dan kebodohan orang-orang di desa
itu adalah sasaran empuk bagi propaganda partai yang berpaham kerakyatan
itu. Bakar berhasil mendapatkan pengikut melalui jargon “semua untuk
rakyat”, termasuk kesenian. Termasuk ronggeng.
Srintil yang lugu
dan hanya tahu menari pada akhirnya harus menanggung akibatnya. Ketika
pecah kaos pada 1965, bersama orang-orang Paruk, Srintil ditangkap dan
ditahan. Ironisnya, petugas/tentara yang melakukan penangkapan itu salah
satunya adalah Rasus.
Percintaan Rasus dan Srintil yang
menjadi sentral cerita tergarap dengan baik, tidak terjerumus menjadi
adegan-adegan seks yang murahan atau meratap-ratap. Begitu pun untuk
bagian huru-hara politik 1965. Ifa menampilkan kehadiran PKI di Dukuh
Paruk lewat sosok Bakar (Lukman Sardi), seorang anggota PKI, dan warna
merah pada beberapa properti (caping, selendang, ikat kepala, spanduk).
Seingat saya tidak satu kali pun kata "PKI" terucap, bahkan oleh para
tentara yang melakukan "pembersihan" di Dukuh Paruk itu.
Detailnya
juga cukup rapi. Setting tahun 1950-1960-an hadir tanpa canggung
melalui kostum para pemain, mobil-mobil, truk tentara, angkutan umum,
sepeda, motor, rumah, jalan, dan pasar.
Akhir kata, saya
mengucapkan terima kasih kepada Ifa Isfansyah, Oka Antara, Prisia
Nasution, Salman Aristo (penulis skenario), dan seluruh kru film Sang Penari
yang telah bekerja dengan baik menciptakan karya sinema bermutu ini. *** |
SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN (2012)
Mengapa Kecantikan Menjadi Begitu Penting? Jika dalam Mirror Mirror dongeng Putri Salju disajikan dengan gaya ringan dan menghibur, Snow White and the Huntsman ini penuh diliputi kegelapan. Suram. Muram. Gothic. Nyaris tanpa humor. Praktis dongeng anak-anak yang konon disebarluaskan oleh Grimm Bersaudara ini, di tangan Rupert Sanders menjelma menjadi sebuah kisah orang dewasa yang penuh intrik dan dendam dan sarat pesan feminisme. Lewat tokoh Ratu Ravenna (Charlize Theron) disampaikan bahwa hanya kecantikanlah yang membuat seorang wanita berkuasa dan disanjung sepanjang masa. Ketika kecantikan seorang perempuan mulai meluntur digerus waktu, maka dia akan ditinggalkan, terutama oleh para pria. Maka, kau perempuan, harus selalu menjaga kecantikan dan kemudaanmu. Jargon itulah yang kini dijejalkan oleh industri kosmetik kepada para perempuan lewat berbagai produk krim awet muda, anti aging, pemutih, penghilang kerut wajah... Mitos ini pula yang membuat klinik-klinik praktik dokter sesialis bedah plastik laris manis dengan aneka paket operasi: memancungkan hidung, sedot lemak, melangsingkan pinggang dan membesarkan bokong, mengecilkan dan membesarkan payudara, menghilangkan selulit, botox.... Kalau dulu sudah ada semua yang saya sebutkan di atas, tentu Ratu Ravenna tak perlu menjadi ratu yang kejam yang demi memperoleh kecjelitaan abadi harus menyedot aura kemudaan dan kecantikan dari para perempuan di kerajaannya. Tentu dia tak perlu memburu anak tirinya, Snow White (Kristen Stewart), untuk diambil jantungnya. Dia hanya perlu operasi plastik, memakai aneka krim awet muda, dan mengonsumsi pil-pil pelangsing atau jamu galian singset :P Dan, sang Ratu yang telah pudar kecantikannya itu akhirnya harus kalah menghadapi kemudaan dan kecantikan Snow White. Untungnya, Snow White bukan cuma jelita, tetapi juga baik hati. So, kata teman saya kecantikan itu takdir, sedangkan kecerdasan adalah hasil usaha. Maka jika seorang perempuan memiliki keduanya, dia telah menggenggam dunia. |
SOEGIJA (2012)
Menonton "Romo" Nirwan Berakting
Rasanya saya tidak pantas
menyebut diri sebagai penggemar film-film Garin Nugroho, karena
ternyata masih banyak filmnya yang belum sempat saya tonton. Entah
tersebab tak mendapat informasinya atau lantaran film itu tidak diputar
di bioskop. Tapi beruntung untuk film SOEGIJA (2012) saya bahkan
mendapat undangan nonton gala premiere-nya berkat kebaikan hati teman
saya, Iksaka Banu yang menjadi tim promosinya. Terima kasih, Mas Banu. Ketika pertama kali mendengar berita tentang film Garin teranyar ini, aku sama sekali nggak punya informasi tentang manusia bernama Soegija. Jadi, saya tidak punya prasangka apa pun tentang film ini selain bahwa ini film Garin yang tentu saya harap akan menjadi tontonan yang apik. Kemudian, ketika film ini mulai ramai dibicarakan, muncul berbagai macam isu, termasuk soal kristenisasi mengingat film ini mengisahkan Soegija, seorang pastor yang dengan caranya sendiri ikut berjuang melawan Belanda dan Jepang. Ikhwal isu tersebut tidak terlalu saya risaukan, sebab kali ini saya punya satu motif kuat untuk menyaksikan film ini: saya ingin melihat akting Nirwan Dewanto yang kebagian peran sebagai Romo Soegija. Kenapa? Karena selama ini saya mengenal Nirwan hanya sebagai sastrawan , baik sebagai penyair maupun kritikus . Apalagi saat promosi film ini mulai dilakukan, konon Nirwan stres melihat gambar wajahnya terpampang di poster-poster, internet, dan terutama goodybag :D Dan, ketika malam tadi saya menyaksikannya muncul di layar lebar naik sepeda dengan jubah putih pastur, reaksi pertama saya adalah tertawa. Aduuh, lucu aja rasanya mengetahui si romo itu adalah Nirwan. Selanjutnya, aktingnya biasa-biasa saja. Tidak bagus, tetapi juga tidak buruk. Dia romo yang kaku, dingin, dan sedikit bicara. Dia suka menulis buku harian. Sosoknya menjadi lebih hidup dengan kehadiran Toegimin (Butet Kertarajasa) yang nyeleneh dan guyonis (suka bercanda, gitu). Cuma, celetukan-celetukan Toegimin masih terasa Butet-nya. Butet, gitu loh. Hehehe :P Menurutku, keputusan Garin tidak memfokuskan cerita pada tokoh Soegija cukup bijaksana dan sebuah siasat yang jitu, karena kalau semata-mata meneropong biografi Soegija, mungkin film ini akan bernasib sama dengan konser Lady Gaga, walaupun alas an pelarangannya berbeda. Filmnya berjalan lambat (saya sempat ngantuk di tengah-tengah-maaf ya, Mas Garin:D) dengan cerita yang kurang kuat. Di beberapa bagian bahkan Garin sempat kejeblos menyisipkan khutbah tentang nasib warga Tionghoa dari masa ke masa dan jargon menjadi pemimpin yang baik. Saya sangat menyayangkan kenapa bagian itu harus ada. Kalau soal kualitas gambar, ya nggak usah ditanyakan lagi. Sudah menjadi trade mark Garin menghadirkan gambar-gambar yang indah puitis, meskipun itu film perang. Scene iring-iringan perempuan membawa keranjang berisi nasi tekor untuk para gerilyawan berupa siluet dengan back ground cakrawala senja. Cantik sekali. Seperti kartu pos. Seting Jawa Tengah tahun 40-an cukup terwakili dengan baik, termasuk kostum dan make up artisnya. Ilustrasi musik bernuansa kolonial garapan Jaduk Ferianto terasa sedap di telinga. Yang kurang enak tuh adegan perangnya. Kurang menggigit. Hampir mirip adegan perang di film-film jadul kita. Seolah-olah bagian perang ini bukan bagian yang penting sehingga tidak ditangani dengan serius. Yah, secara keseluruhan saya merasa kurang puas nontonnya. Emosi saya tidak sempat ikut larut ke dalam cerita. Beda banget dengan saat saya menonton Daun Di Atas Bantal. Perasaan saya sampai sesak dan keluar bioskop dengan mata yang sembap karena menangis. Padahal di Soegija ini ada sedikitnya tiga adegan sedih, namun tak satu pun berhasil membuat saya tersentuh. Celakanya, ia juga gagal menggugah rasa nasionalisme yang saya rasakan saat menyaksikan Mata Tertutup. Tentu saja, kau tak perlu sepakat atau memercayai pendapat saya bulat-bulat (emangnya siapa gue? :P). Lebih baik tonton saja filmnya kemudian kita obrolin bersama. Boleh di sini atau off air sembari ngupi-ngupi. |