Jumat, 20 Juli 2007
Film Romantis yang Bikin Ngakak
kontributor: kotho ben punjabi (via Calo Tiket) CINTA PERTAMA Pemeran: Bunga citra lestari. Ben Joshua, Richard Kevin, Ratna ruchia Sutradara: Nayato fio naula Sekenario: Titin watimena Produksi: Maxiuma fictured 2006 “Aku mau film Endonesia saja. Yang cinta-cinta gitu,” kata seorang teman sambil menjulurkan uang 2000 perak kepada saya. Uang itu keluar setengah terpaksa dan ancaman yang jelas. 2000 kok mintanya macam-macam. “Inneke Koesherawati mau?” kataku kesal. “Ada po?” tanyanya. “Pelem-pelem yang kayak betina gitu, atau Novel Tanpa Huruf R, Daun di Atas Bantal, Sumanto atau Mai heel(my hearth maksudnya) boleh juga, tuh.” Celoteh teman saya yang satu, sok cerdas. “Agak berat tuh. Tapi keren...” “Kau dah nonton pelem-pelem yang kau sebut tadi?” tanyaku. “Belum semua sih, paling juga Novel Tanpa Huruf er sama Daun di Atas Bantal. Keren abis. Saya sampai tidak mengerti jalan ceritanya,” katanya bangga. Oh, jadi pelem bagus itu pelem yang tak dimengerti ya? O, Tuhan, ampuni hamba dari dosa-dosa ini! “Ha.. Cinta Pertama aja, Bunga Citra Lestari pemainnya.. yang Lagunya Sani..sani gitu. Orangnya, aktingnya, wuihh,.. mantap. Dia itu dulu sebenarnya....” kebiasaan dia kalau sudah ngomong selalu begitu. Entah menyombongkan kebohongannya atau dia memang terlalu pintar ndobisinnya? Sok tahu segalanya. Jadilah malam itu satu pelem Indonesia, empat pelem luar, dan dua pelem porno teronggok di depan komputer. Saya mengalah, teman-teman saya berebut nonton Cinta Pertama dan saya pindah kamar, liat Finding Neverland. Sesekali saya terbahak mendengar dialog pelem di seblah kamar yang ada kata-kata, “lu-gue, lu-gue"nya itu. Pelem saya duluan selesai. Mereka belum. Sepertinya mereka nggak langsung tancep ke Cinta Pertama, tapi muter pelem porno lebih dulu. Aku mengintip. Duh mak, ini pelem apa sinetron? Begitu komentar saya pertama kali. “Gue tidak suka pelajaran sejarah waktu SMA. Lu gak tau kan? Berarti masih banyak yang lu belum tau tentang gue,” begitu kata si cewek yang bernama Alya itu. Dan aku tergelak besar. Tak suka sejarah? Kenapa? Tidak ada penjelasan bung. Sok-sokan aja kali, mengikuti selera penulis skenario yang sok paham situasi politik di tanah air ini. Kesalku memuncak ketika ada dialog, kira-kira berbunyi begini, “Gue menyukai dia, seperti gue menyukai gerimis,” Alamak... sekatrok-katroknya saya, saya itu penyair juga. Tapi denger itu, mau muntah saya dengan penggalan yang sok dramatis ini. Aku menungging di depan komputer (terbayang kan kalo sy udah nungging?). Saya dengar teman yang banyak omong tadi mulai sesegukan bawang bombay. “Yah udah kalau lu tak suka. Tapi jangan ganggu kesedihan gue dong.” Ha? Dia ngomong sudah pakai gue segala? Bayangkan, sepanjang pelem itu diputar, yang kita tangkap adalah suasana muram dan kelam. Sebentar saja kita akan diingatkan pada setting film-film romantis Jepang atau Korea. Kapas berterbangan, daun berguguran, sementara angin tak terlihat keras sama sekali. Lalu hujan. Hujan di bulan Mei, Sapardi. Bukankah Mei adalah bulan di mana kemarau baru saja mengetuk pintu? Tapi di pelem itu, selama ujian akhir berlangsung sampai pengumuman kelulusan, hujan tak lepas-lepas dari adegan. Pusat cerita adalah buku harian. Ini betul-betul mengutip adegan film Jepang, bergaya sama yang saya lupa judulnya. (Ira Komang Jageg, apa judulnya?) Belum lagi alur maju mundur, di mana buku tersebutlah yang bercerita. Tapi di pelem ini maju mundur alur ini makin mengacaukan imaji kita. Izinkanlah saya sok cerdas menulisnya begini: cerita ini berpusat pada Alya dan buku hariannya. Waktu SMA dia jatuh cinta pada seorang pemain basket sekolah tapi tak bisa main basket.(Garingkan? Garing Nugroho kali). Selesai SMA si cowok kuliah ke kota lain, gak tau tu kemana. Trus adegan terputus panjang sekali. Tiba-tiba si cewek sudah bertunangan. Entah berapa tahun peristiwanya sejak mereka lulus SMA. Entah cowok dari mana pula yang jadi tunangannya itu. Tak ada penjelasan. Setelah pertunanganan itu, suatu pagi si cowok datang ke rumahnya. “Alya lagi tidur tuh. Bangunin aja.” Duh mak... lagi tidur aja dandanannya menor begitu apalagi bangun ya? Tidurnya gak di ranjang lagi. Semalaman dia tidur di luar kali... tapi kok gak masuk angin. Oh, Tuhan bagaimana ini. Ketika dibangunkan, kepala si cewek miring ke kanan. Si cowok kaget. Adegan berpindah cepat ke rumah sakit. Ceweknya bunuh diri? No. katanya sih pendarahan otak gitu. Dan cerita mulai berputar-putar seperti itu. Mulai dari membaca diari, rasa cemburu, pencarian Sunny yang ternyata sudah menikah. Juga upaya Sunny membangunkan Alya. Jangan bertanya banyak dan berharap lebih dari sini deh. Adegan yang sengaja dibikin suram, bahkan rumah sakit tampak seperti ruang jagal. Untung sutradaranya bukan Rizal Mantovani (betul gak nih namanya?). Bisa-bisa muncul bayangan putih dari balik kaca. Hiii..... Keseluruhannya, ini pelem yang saya pikir konyol dan berlebihan. Anak muda Jakarta sekarang masa gak punya hp? Lalu nikmat cinta pertama seperti apa yang dipertahankan? Gak ada dialog dan gambar yang merujuk pada peristiwa istimewa sehingga patut dikenang dsb, dsb. Apa yang ingin disampaikan pada peristiwa ini? Dialognya yang sok romantis? Atau beberapa adegan tampak dibikin-bikin itu? Bayangkan, si Alya sakit, pendarahan otak yang konon sudah lama dialaminya. Tapi demi tuhan yang maha pemaaf, tak ada adegan yang memperlihatkan dia kepayahan dan sakit. Dia melonjak-lonjak terus, tertawa-tawa, menangis, sedih, murung dan gembira dengan mimik yang nyaris sama. Lalu tiba-tiba entah karena apa penyebabnya, jadilah sepanjang cerita dia terbaring di rumah sakit yang pengap dan suram itu. Sepanjang cerita. Wuihh.. gila. Atau simak adegan si cowok yang mengajarkan si cewek cara belajar yang efektif. Mulailah dia bercerita tentang sejarah di Eropa Timur... di kantin dan tengah malam pula. Jadilah sepanjang pelem ini diputar saya ngomong dan tertawa terus. Hampir setiap adegan selalu ada yang membuat saya tertawa. Besoknya saya mengajak pacar saya menontonnya. “Hus.. jangan cerewet. Jangan menonton dengan verbal, pakai rasa,” kata pacar saya sambil mengusap airmata. Sedih dia. Saya usap airmatanya itu. Hihihi, kok jadinya seperti pelem India. Dan rasa, katanya, saudara. Rasa? Apakah saya harus melakukannya? Sekarang, sayang? Label: Drama. Indonesia |
posted by Anonim at 7/20/2007 11:06:00 AM
aku ikut ngakak deh bacanya...
*geleng-geleng* laah..koq ora kapok2 ya ntn pelem indonesia?
hahaha...nitip ketawa aja..hahaha
Sani itu nama pembuat oven kebabku. Dan ovennya nggak jadi-jadi, udah mau 6 bulan. Jadi kalo ada lagu Sunny atau liat BCL, aku suka inget ovenku, hiks hiks ... huuuuuuuuu
hehehe.. jangan2 tulisan ini kalau dibukukan malah lebih laku dari filmnya..:D
aduuuu ini tulisannya bagus! setuju gila2an gw! bener2 bikin gw ngakak! boleh ya kalo gw jadiin rekomendasi link ke temen2 gw??
boleh yaa... hwehehehehehe.
haha..koq review film ini terlewat olehku ya ?
emang garing koq film nya. tapi..ya nikmati saja lah BCL nya. ini jaman dia blom sama si ashraf itu kan ?
imgar
ya wlaupun g msk akal, yg penting inti ceritanya
pesan yg disampaikan tu bharga banget
ya wlaupun g msk akal, yg penting inti ceritanya
pesan yg disampaikan tu bharga banget
ya wlaupun g msk akal, yg penting inti ceritanya
pesan yg disampaikan tu bharga banget