kontributor: agung be ha (kri-tikus amatir dari bioskop panas seblah)
Sutradara: Deddy Mizwar Pemain: Deddy Mizwar, Tora Sudiro, Wulan Guritno, Lukman Sardi, Uli Herdiansyah Penulis: Musfar Yasin Produksi: PT Gisela Citra Sinema (2007)
Jujur!!! Ini film serius. Sangat-sangat serius. Hingga karena terlalu serius, Nagabonar (Deddy Mizwar) menarik-narik tangan patung Jendral Sudirman yang menghormat. Patung Jendral dengan ikat kepala dan mantel yang berdiri tegap menghormat entah kepada siapa.
“Siapa yang kamu hormati Jendral?” lanjut Nagabonar, “apa mobil-mobil itu?”
Saya sempat tertegun melihat adegan itu. La tiba-tiba kok saya kasihan pada Jendral Sudirman. Kok tiba-tiba saya ingat pepesan guru PMP, “Apa sumbangsihmu bagi negara?” Dan anehnya ada yang mengganjal di tenggorokan. Ada yang menggumpal dalam dada. Nafas saya tersengal. Di kelopak mata, seperti ada yang ingin keluar. Sesuatu itu saya tahan.
Saya malu mengeluarkannya. Sebab saya saat itu di 21. Apa kata dunia, jika saya sampai mengeluarkan sesuatu yang seperti buliran itu keluar. Apa kata cewek berparfum menggoda melihat lelaki di samping kanannya me....
Bioskop yang gelap menyelematkan saya dari malu. Dari ingus bening yang keluar dari hidung. Dari mew.... ah saya berhasil menahannya.
Mungkinkah saat nasionalisme saya tergugah? Waduh!!! Ini terlalu serius. Ngomongin nasionalisme di jaman Tukul Arwana tenar. Ngomongin nasionalisme di jaman tentara di sepelemparan ketapel dari Monumen Nasional lebih suka bergoyang dangdut daripada perang.
Tapi mungkin ini yang hendak disampaikan Babe Kalah Perang (Deddy mis-war) kepada penonton. Di tengah semarak film horor yang bikin terbahak. Bahwa, mungkin menurut Babe, Indonesia ini bukan saja hanya milik para pejuang, para tentara, dan para pahlawan. Tapi, barangkali, juga milik orang-orang yang dipilih Yang Maha Rahim lahir di tanah air ini: Indonesia. Dan generasi 3G ini sudah luntur nasionalismenya.
Ini juga bukan jamannya orang diteror dengan film horor. Tapi jaman Indonesia yang serius tapi juga bisa tertawa.
Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya pembaca, maaf jika dua paragraf di atas, saya terlalu serius. Tapi itu yang saya tangkap dan rasakan dari film ini. Film tentang kesenjangan nilai antar dua generasi. Tentang generasi Bonaga (Tora Sudiro) dengan jaman ketika Nagabonar yang mantan copet bisa jadi Jendral di jaman Revolusi Fisik.
Saya tak hendak berargumen masalah kesenjangan nilai antar generasi ini. Sebab kuping saya, yang sebulan sekali dikorek, (kadang juga lupa) ini masih bisa mendengar gadis disamping kiri saya di 21 ngomong sama yayangnya, “Yang apa dulu Nagabonar jadi Jendral?”
“Waduh!!! Mbaknya nonton Naganobar Jadi 2 pasti gara-gara pengaruh iklan,” batinku. Sejenak saya ingat pada kategori para penonton film di Janji Joni. Jika dikategorikan, Mbaknya ini pasti masuk golongan penonton berisik. Dan saya pun akan dicomot dan dimasukkan dalam kategori kritikus amatir. Weladalah!!! Saya kok main kategori-kategorian to ini.
Tapi tak apalah, sang dalang (sutradara) Pak Deddy Mizwar memang membuat saya jadi seperti itu. Membuat saya harus menilai, menimbang dan memutuskan. Bahwa dalam perkara dakwah, Pak Deddy seperti Sunan Kalijaga. Dia ceramah lewat seni dan budaya pertunjukan. Jika Sunan Kalijaga dulu dakwah dengan wayang kulit, maka Pak Deddy ini dakwahnya lewat wayang modern, film namanya.
Dan Wulan Guritno yang tampil anggun itu cuma pemain. Yang dia harus berperan m,enjadi wanita sempurna. Berparas ayu, cerdas, mulus (lemu tur alus, gemuk dan halus), punya mobil sedan mewah, tinggal di rumah mewah juga.
“Apa kata dunia?”
“Wahai lelaki!!! Diwajibkan atas kamu untuk ngiler pada wanita macam itu,” kata saya.
Tuan-tuan dan Nyonya-Nyonya!!! Maafkan saya, kritikus amatir ini, lancang mengkritik Pak Deddy. “Nagabonar jadi 2” memang bagus. Tapi gaya sinetron tetap saja ada. Seperti juga Mbak Wulan yang memerankan wanita sempurna itu. Juga tentang Mas Tora yang jadi executive muda. Dan Tukang bajaj harus ditampilkan dengan wajah memelas. Waduh!!! La kok kayak sinetron bikinan Om-om Punjabi. Nehik lah ya.
Jika boleh saya menilai, adegan terbaik dalam film ini adalah ketika Nagabonar berhasil mencopet jam tangan pengusaha Jepang.
Apa kata Nagabonar?
“Tak tahu lah Kau Bonaga, Jepang itu dulu merampas negeri kita lebih dari jam tangan ini.”
Itu baru satu contoh. Satu contoh adegan terbaik lainnya ketika film ini usai. Nagabonar yang tua, memerintahkan kepada Tora dan kawan-kawannya untuk segera membayar permadani Mushala. Semua pemuda itu tampak tergeragap. Lari tergesa-gesa.
Penonton di 21 itu pun terbahak. Entah apa yang mereka tertawakan. Sebab tawa itu segera reda. Lampu mulai di 21 itu pun dinyalakan. Penonton pun bubar.
Sekali peristiwa, ketika film itu usai, sehabis nonton film ini dua lelaki kebingungan cari pintu keluar di Ambarukmo Plaza. Mereka nyasar sampai di lower ground.
Mewekkah mereka?
Dua lelaki itu akhirnya meringis, setelah mereka melihat Jalan Solo, Yogyakarta. Jujur!!! Cerita ini tak mengada-ada.Label: drama, Indonesia, Komedi |
hehehe..jadi si calo lagi lbr ya dan mengirim wakilnya ke sini? :)
wah..aku baru baca bukunya..
gak sempet ke bioskop..
dan vcd nya blom ada..
padahal penasaran juga tuh..
Saya lagi sibuk ngurusi si Taufik Ismail, Perca. Jadi cukup wong ndeso dibelikan tiket untuk selalu nonton film di bioskop2 tua di jogja (yg biasa muter film esek2 indonesia jamane inneke koeshera dan reynaldi) dan sesekali ke mall 21.
VCD-nya udah keluar tuh!!!
Wajib punya deh, soalnya film ini emang keren banget!!! Nanti dapet FFI fa ya... ;p
iya. ini bikin gua berkaca2 nontonnya. bagus...
imgar