Sutradara: Ismael Ferroukh Pemain: Nicolas Cazale dan Mohammad Madjid
Perjalanan darat ayah-anak (Reda). Mengendarai mobil (warna biru kecuali pintu kanan-muka kuning) dari Prancis ke Arab Saudi. Melewati kota-kota Eropa. Melewati banyak bahasa. Budaya. Ketaksalingpengertian. Milan, Slovenia, Balkan, Bulgaria, Turki, Syria, Jordan, Mekkah.
Dua orang. Dua watak. Ayah tak bisa membaca, tapi bersikukuh sebagai pimpinan perjalanan. Mengatur uang. Mengatur makanan. Mengatur kapan waktu istirahat dan kapan jalan. Sementara anak dengan pikirannya yang tetap nempel di Prancis. Peristiwa2 kecil menggoda. Tentang penumpang aneh di Italia. Tentang paspor. Tentang penukaran uang. Tentang jalan-jalan yang menyesatkan. Melewati musim-musim tak terduga. Terjebak dalam salju di Pegunungan Bulgaria. Keduanya adalah sebuah dialog. Kadang dingin. Hangat. Tapi juga menyentuh ke kedalaman. Dua orang yang saling memberi dan mempengaruhi pasase hidupnya. Si ayah mengajari cerita-cerita tentangnya yang hingga ke masa silam.
Dalam jebakan salju, muncul kepanikan. Tapi juga cinta. Ada tenggang. Dalam kesulitan, mereka berbagi. Kesalingpahaman terbangun dalam kesulitan. Ditahan di perbatasan lantaran perbedaan bahasa. Ada kejengkelan, tapi bisa berdamai lantaran ada seseorang yang tahu berbahasa Turki. Si anak dipersilakan mengisap sadu di rumahnya.
Lihatlah, mereka di Turki. Tapi mereka ketambahan Mustapha yang lancar berbahasa Prancis. Dia mau naik haji juga. Haji menumpang. Di Turki, azan2 mulai terdengar. Menara2 masjid menjulang. Tuh, ada masjid biru yang dibangun semasa utsmaniyah berkuasa. Nomor dua (6) setelah mekkah (7) dihitung dari jumlah menara.
Di Turki si anak diajak Mustapha nenggak bir hingga mabok. Ternyata itu ulah si Mustapha yang mencuri perbekalan mereka. Sang ayah marah besar dan berkata: “Kamu mungkin tahu membaca dan menulis, tapi tak tahu bagaimana hidup.” Keduanya tak bisa membuktikan Mustapha bersalah di hadapan polisi karena tak ada bukti.
Terpaksa uang pulang digadang untuk perjalanan pergi. Saatnya berhemat. Bensin nyaris habis. Perjalanan masih jauh. 90 mil lagi Damascus (Syiria). Di Damascus muncul pengemis sewaktu mereka ngambil air di jamban umum. Si ayah memberinya dalam kondisi yang sangat kekurangan. Si Anak hendak mengambil kembali uang itu. Tapi si ayah mencegah. Kena gampar. Si Anak meradang. Meminta pasport. Kepingin jalan sendiri Memanggul tas ke atas bukit. Si ayah nyusul. Memberitahu bahwa ia sudah bisa ditinggal dan mengurus diri sendiri dan membebaskan anaknya memilih. Tapi kekerasan hati itu bisa luluh. Mereka bersatu kembali di tengah padang pasir. Perjalanan berlanjut. Si anak diberi roti, tapi minta daging. Untuk memulihkan tenaga.
Mereka membeli kambing hidup. Di tengah jalan kambing mau disembelih. Di tangan si anak kambing itu lepas. Dia mengejarnya. Tapi nggak dapat.
Saat si bapak salat, si anak menemukan kantong uang. Dia tersenyum. Ternyata si ayah masih memiliki cadang di bawah jok. Si anak meninggalkan ayahnya di hotel. Masuk bar. Nonton tari perut dan berdansa dengan para dada yang membusung dan berkeringat. Ah, si bapak memergoki si anak lagi mabuk dan main sama si cewek berdada aduhai. Si ayah marah besar. Meninggalkan anaknya. Berjalan sendiri. Si anak memohon agar naik mobil. Tapi ia berjalan sendiri menenteng kopornya. Ia luluh juga setelah anak itu menghardik keras: “Tidakkah ada ampunan dalam agamamu?”
Waktu rombongan banyak orang naik haji berkumpul di Jordan, si anak tak mau ikut salat. Malah keluyuran sendiri di padang pasir. Nyoret2 nama Lissa, seorang kristiani pacarnya di Prancis.
Sendirian di gurun. Berdialog. Anak: “Apa pentingnya Mekkah buatmu?” Si bapak menjelaskan seperti umumnya. Bahwa ia akan terus gelisah bila mati sebelum melengkapi kewajibannya naik haji. “Dan tanpamu aku tak akan pernah bisa melakukan haji kewajiban ini.”
Anak itu terharu. Betapa walau hanya menemani, dia juga penentu ayahnya bsia naik haji atau tidak.
Masuk mereka ke Mekkah. Melewati gerbang dua pedang yang tertanting. Disambut ahlan wa sahlan. Sementara ayahnya ke masjid. Si anak di mobil saja. Tertidur. Ngeliat2 foto Lisa yang sedang duduk di sofa dengan paha putih pualam tersingkap. Delapan hari mereka di Mekkah ini. Si ayah berpakaian ihram. Si anak tetap aja kaosan. Kuning warna kaosnya. Si Reda ini lucu ya. Lha orang berlabbaikan2 pakai ihram, dia ikutan aja pakai kaos. Sendiri lagi pakai kaos. Semua orang berkalafeyah.
Tapi di sinilah si anak disadarkan, tatkala ayahnya tak pernah kembali lagi. Ia terus mencari, mencari, mencari di tengah jutaan manusia berihram putih. Oleh seorang polisi, di antar ke kamar mayit. Di situlah ayahnya terbaring dengan ihram abadinya membungkus jasadinya.
Kukira, film ini adalah perjalanan tentang kesadaran berpindah-ubah. Dan itu bukan ayahnya, tapi diri anaknya sendiri. Si reda-lah yang sesungguhnya naik haji itu. Si pengantar kematian.
Dan setiap kematian memang guncangan. Ini adalah perjalanan membawa diri ke keharibaan kematian. Di sana. Di Mekkah. Dan sesungguhnya Le Grand Voyage adalah perjalanan menuju gerbang lahat.
@Ghost Muh >>> Krapjak 9 Oktober 2007 |