Sabtu, 27 September 2008
Laskar Pelangi
Sutradara: Riri Riza Produser: Mira Lesmana Penulis Skenario: Salman Aristo Musik: Titi & Aksan Syuman Sinopsis : Hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadiyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Bu Muslimah dan Pak Harfan, serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Sebab berdasarkan surat pengawas sekolah jika tidak mencapai 10 murid yang mendaftar, sekolah akan ditutup. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Kesepuluh murid, yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah itu, menjalin kisah yang tak terlupakan. (dari website Laskar Pelangi The Movie ) Adaptasi Cerita : Andrea Hirata tampaknya tidak terlalu kaku mematok bahwa film ini harus sepenuhnya sama dengan novel yang ia tulis. Terbukti ia membebaskan Riri Riza dan Salman Aristo membuat skenario sesuai interpretasi mereka sendiri. Dan menurut wawancara di media, Andrea bisa menerima dan puas dengan perubahan2 dalam skenario filmnya. Riri dan Salman cukup berani membuat banyak perubahan. Tampaknya mereka juga merasakan banyak hal yang terlalu berlebihan di Laskar Pelangi versi novel, sebagaimana yang aku rasakan dan pernah aku posting di reviewku. Laskar Pelangi versi film ini menjadi lebih logis dan membumi. Hampir semua yang berlebihan dibabat habis dan dijejakkan kembali ke bumi. Pertanyaan2 di lomba cerdas-cermat telah disesuaikan dengan tingkat pendidikan peserta. Tarian di karnaval juga lebih sederhana hanya didramatisir dengan permainan kamera. Mahar juga lebih membumi dengan lagu "Seroja"-nya, bukan "Tennese Waltz". Grup Band Laskar Pelangi dengan electone, standing bas dll sama sekali tidak diceritakan. Petualangan ke pulau Lanun juga disederhanakan. Dan yang tersisa adalah sebuah kisah yang jauh lebih logis dan masuk akal, sesuai dengan setting cerita. Jika di novel kita akan merasa bahwa yang bercerita adalah Ikal dewasa tentang Ikal kecil, dengan seabreg istilah bahasa latin dan bahasa inggris bertaburan disana sini. Di film ini semuanya kembali ke suasana yang seharusnya, suasana Belitong yang masih agak terpencil dan suasana kehidupan anak-anak. Sementara penambahan2 cerita baru di beberapa tempat, bisa diterima dan menyatu dengan baik dengan cerita asli. Hanya saja tokoh baru Pak Mahmud yang diperankan Tora Sudiro itu apa memang perlu ya? Lalu satu hal lagi, karena ada banyak adegan di buku yang dimunculkan hanya sekilas tanpa terlalu banyak detail, aku agak bertanya-tanya apakah mereka yang belum membaca bukunya akan bisa menangkap semua cerita? Akting : Secara keseluruhan akting pemainnya lumayan bagus. Rata-rata bisa bermain secara natural dan menyatu dengan setting Belitong tahun 70-an. Yang paling menjiwai peran di film ini menurutku adalah Ikranegara sebagai Pak Harfan Kepala Sekolah SD Muhammadiyah. Dia bisa mewujudkan sosok seorang kepala sekolah sebuah SD sederhana yang idealis dan pantang menyerah, tapi tetap lembut, ramah dan sayang kepada anak-anak didiknya. Sedangkan Cut Mini sebagai Bu Mus, lumayan total aktingnya yang lengkap dengan logat melayunya yang kental itu. Meskipun pada beberapa adegan ada yang kurang lepas emosinya. Pemain dewasa lain seperti Mathias Muchus, Rieke DP, Alex Komang, Robby Tumewu, Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Jajang, juga bermain bagus tetapi karena porsinya tidak banyak ya tidak terlalu menonjol. Hanya Tora Sudiro yang terasa agak mengganggu pemunculannya disini karena tetap sebagai Tora Extravaganza yang tampak konyol. Para pemain anak2 asli Belitong yang memerankan Laskar Pelangi, meskipun mereka baru pertama kali berakting, tetapi ternyata cukup berhasil bermain secara natural. Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) tampil cukup meyakinkan. Yang paling bagus dan menjiwai karakternya adalah Veris Yamarno yang menjadi Mahar. Dia bisa bermain lepas tanpa beban sebagai anak eksentrik pecinta seni. Salut. Setting : Selain dari segi cerita, film ini tampaknya bakalan banyak dipuji dari segi artistik. Pengambilan gambarnya, lokasinya, dan sudut-sudut kamera yang diambil tidak sembarangan. Sisi-sisi indah dari pulau Belitong bisa dimunculkan dengan apik dan dramatis. Dengan setting asli di Belitong dan bahasa asli setempat, film ini tampil lebih natural dibandingkan dengan novelnya yang agak sedikit dikacaukan dengan banyaknya perbendaharaan kata2 bahasa inggris daripada bahasa setempat. Alur Cerita : Karena berdasarkan sebuah novel yang merupakan memoar masa lalu seorang Ikal, dan bukan sebuah cerita dengan fokus pada satu kisah utama, maka wajar saja jika ada yang merasa kalau film ini agak meloncat-loncat dan kemana-mana. Dan di beberapa bagian cerita akan terasa datar tanpa emosi, hanya sebatas bercerita tentang kehidupan tokohnya. Film ini memang adalah kisah kehidupan, bukan sebuah cerita dengan rentetan adegan2 yang membangun konflik lalu mencapai klimaks dan selesai. Ada bagian tentang cerianya dunia anak2, ada tentang betapa sederhananya kehidupan mereka, ada tentang perjuangan agar tetap sekolah, ada sedikit bumbu kisah cinta remaja, dan ada perlombaan untuk melambungkan kembali harapan. Semuanya disatukan untuk membangun sebuah gambaran utuh tentang kehidupan tentang anak-anak miskin yang berjuang untuk tetap bisa sekolah dan menggantungkan mimpi mereka setinggi-tingginya. Pesan Moral : Dalam rentetan gambar yang indah film Laskar Pelangi ini menurutku berhasil menyampaikan kisah tentang perjuangan sebuah sekolah sederhana untuk anak-anak miskin agar bisa terus hidup dan mendidik generasi penerus dengan akhlak yang mulia. Segelintir guru yang bekerja keras pantang putus asa dalam keterbatasan. Beberapa orang murid miskin yang tetap bersemangat tinggi dalam belajar. Bisa menginspirasi banyak orang untuk memajukan lebih tinggi lagi dunia pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil dan untuk anak-anak miskin. Salut. [ tiga setengah bintang, dibulatkan jadi empat bintang :) ] |
posted by biru at 9/27/2008 08:40:00 PM
musiknya gak dibahas ?
aku suka scoringnya. akman syuman dan titi syuman ya ? keren tuh...
-imgar-
Salah satu dari ratusan film yang kutonton yang membuat mataku gerimis,sekaligus rasa bersalah tak mensyukuri hidup. benar-benar insfiratif...
Filmnya kurang bagus!!!
Berikut kritikan saya:
1. Adegan Karnaval yang tidak terlalu heboh, padahal dalam buku digambarkan suatu kehebohan yang luar biasa. Dan efek gatalnya tidak terasa
2. Beberapa adegan yang tidak penting justru disampaikan dalam waktu lama (seperti adegan Mahar menyanyi) dan beberapa adegan yang harusnya diperkuat justru hanya ditampilkan sambil lalu.
3. Sewaktu ke pulau Lanun kesusahan yang terjadi sangat sedikit sehingga mengurangi efek usahanya
4. Jika memang mau dilanjutkan ke novel Edensor, mengapa yang diberi A Ling ke Ikal bukan buku Heriott tapi malah kotak bergambar menara Eiffel
5. Lintang di film tidak terlalu pandai, padahal di novelnya, Lintang sangatlah pandai
6. Tidak usah ada matinya pak Harfan, karena walaupun banyak mengundang isak tangis, kematian itu malah menimbulkan suatu cerita yang berbeda
7. Terlalu banyak menimbulkan efek buaya
8. Semua adegan dipaksakan masuk dalam cerita oleh om Riri, tapi seakan-akan dikejar durasi untuk meringkasnya
9. Penggambaran karakternya kurang mendalam
Ini memang penilaian secara perorangan tidak tahu kalau ada yang salah karena saya bukan kritikus film