Judul: Perempuan Berkalung Sorban
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Hanung Bramantyo & Ginatri S.Noor
Pemain: Revalina S.Temat, Oka Antara, Widyawati, Reza Rahadian, Joshua Pandelaki
Produksi: Starvision
Masa putar:
Tahun: 2009
Perempuan Berkalung Sorban menjadi film pertama yang saya tonton di tahun 2009. Pertama kali saya tahu tentang film ini dari Abidah El Khaleiqy yang adalah penulis novelnya (si Mbak ini muncul juga satu kali sebagai dosen sastra yang sedang memberi kuliah). Novelnya telah terbit sejak 2001. Baru difilmkan tahun ini barangkali karena sekaranglah saatnya yang tepat, menyusul sukses Ayat-Ayat Cinta .
Sayang sekali, sampai menonton filmnya saya belum selesai menamatkan bukunya yang baru saya beli Jumat lalu (penting gak sih informasi ini? :D). Tetapi walaupun demikian, dari hasil pembacaan yang baru sedikit itu, saya bisa menduga film garapan sutradara muda yang sukses membesut Ayat-Ayat Cinta ini adalah film yang bicara ihwal kesetaraan lelaki dan perempuan dalam Islam. Tema yang cukup sensitif di negeri yang masih sangat patriarki ini.
Adalah Anissa (Revalina S.Temat), putri bungsu K.H. Hanan Abdul Malik (Joshua Pandelaki) pemilik pondok pesantren putri Al Huda, yang sangat ingin belajar naik kuda seperti kedua kakak lelakinya, Reza (di bukunya bernama Rizal) dan Wildan. Namun, tentu saja sang ayah tak mengizinkan dengan alasan karena perempuan, seorang muslimah, tidak pantas berkuda.
Agaknya bukan cuma soal urusan berkuda saja Anissa mengalami diskriminasi, tetapi juga untuk banyak hal lain. Misalnya, tidak boleh keluar rumah tanpa ditemani pria yang menjadi muhrimnya, tidak boleh makan sambil bicara, tidak pantas sekolah tinggi-tinggi. Kelak setelah Anissa dewasa. Ia masih harus menambahkan dalam daftar “tidak boleh” itu sejumlah hal lagi: tidak boleh menolak kemauan suami yang ingin mengajak bersetubuh kapan pun; tidak boleh berinisiatif mengajak suami bersetubuh; dan tidak boleh meminta cerai. Jika aturan itu dilanggar, maka Allah beserta seluruh isi dunia dan akhirat akan melaknat.
Oleh karena ini film yang ingin bicara soal kesetaraan, tentu harus ada seseorang yang memberontak dan menentang semua itu. Siapa lagi jika bukan Annisa. Sudah pasti agar ceritanya lebih seru, mesti diciptakan konflik. Dan terjadilah konflik itu antara Nisa dan ayahnya yang puncaknya pecah saat Nisa dipaksa kawin dengan Syamsudin (Reza Rahadian), anak seorang kyai kaya raya sahabat baik sang ayah. Sebenarnya perkawinan tersebut lebih bermotif ekonomi sebab Kyai Abdul Malik berambisi memperbesar pesantrennya dan itu hanya bisa terwujud jika Nisa menikah dengan Udin yang ayahnya kerap menyantuni Al Huda.
Oh, Annisa yang kritis tentu tidak mau. Ia masih ingin menggapai cita-citanya kuliah di Al Azhar, Kairo, menyusul pemuda pujaan hatinya, Khudori (Oka Antara). Namun, apalah dayanya sebagai seorang anak yang masih sangat bergantung kepada orang tua sementara sang kekasih tengah berada jauh di negeri orang.
Hu..hu..hu..ternyata si Udin bukanlah suami yang baik. Selain suka mabuk-mabukan, Udin juga senang main perempuan. Akibatnya, suatu hari ia harus bertanggung jawab karena telah membuat hamil seorang perempuan. Lagi-lagi Nisa tak kuasa menolak nasib yang disodorkan kepadanya. Ia harus mau menerima kehadiran madunya di dalam rumahnya. Sebab, Islam mengizinkan poligami.
Sementara itu, Khudori telah kembali dari Kairo dengan membawa cintanya untuk Nisa. Tetapi sebagai lelaki yang baik, ia tak mungkin merebut Nisa dari suaminya. Hingga pada suatu hari Udin memergoki mereka sedang berdua-dua di kandang kuda. Udin kalap. Ia mengamuk dan saat itu juga mengucapkan talak kepada istrinya.
Adegan ini paling berkesan buat saya. Anissa dan Khudori yang dituduh berzina harus menerima hukum rajam dengan dilempari batu oleh warga setempat. Ketika orang-orang mulai menghujani mereka dengan batu, ibu Anissa (Widyawati) maju membela putri satu-satunya itu. Digenggamnya sebongkah batu sebesar kepalan tangan dan berkata, “Hanya mereka yang merasa tidak berdosa saja yang boleh melempar”.
Cukup ya untuk gambaran filmnya. Kini komentar untuk filmnya.
Tema
Isu kesetaraan ini tema yang belum banyak dilirik sineas kita. Apalagi yang berlatar belakang Islam. Biasanya bila tak cerdik menyiasati, tema-tema yang menyinggung sebuah agama, berpotensi menuai kritik dan kecaman. Syukur kalau cuma berhenti sampai di mengecam saja. Yang gawat kan jika akhirnya dilarang diputar. Jangankan tema, judul film saja, bisa jadi masalah serius di negeri kita ini. Salut deh untuk Hanung dan Starvision yang sudah berani menfilmkannya.
Akting
Rata-rata para pemainnya berakting standar saja, termasuk aktris senior Widyawati. Yang agak cemerlang justru Reza Rahadian. Sebagai Udin dia mampu menghidupkan karakter laki-laki jahat dan licik yang sangat menyebalkan. Gayanya yang sok dan tengil itu benar-benar menjengkelkan. Rasanya saya ingin ikut menampar wajah mesumnya J
Detail
Lumayan cermat penggarapannya. Hanya ada satu yang menjadi pertanyaan saya, mengapa Anissa tidak pernah melepas kerudungnya meskipun ia sedang tidur bersama suaminya? Juga soal mesin ketik. Terasa kuno dan tidak cocok berada di sebuah kantor women crisis centre di Yogyakarta pada tahun 2001 (seting cerita). Mestinya sudah berganti dengan komputer, bukan?
Juga “pemandangan” piramid di luar jendela kamar Khudori di Mesir, tampak terkesan dipaksakan.
Poster
Aku suka posternya. Keren. Kuat sekali menggambarkan makna seorang perempuan muslim yang melawan arus.
Sound track
Lumayan enak, dibawakan oleh Siti Nurhaliza.
Lain-lain
Secara keseluruhan film ini oke. Sayang, masih ada beberapa bagian yang maunya menyisipkan pesan moral tetapi karena penyampaiannya masih mengandalkan cara-cara verbal, akibatnya malah jadi seperti khotbah. ***
blom nonton..
nunggu vcd nya aja lah.. :p
imgar
masih lama, Gar, VCD-nya :D
“Hanya mereka yang merasa tidak berdosa saja yang boleh melempar”.
Bukankah ini ucapan Yesus saat orang yahudi ingin merajam seorang pelacur? jadi pelem ini mengadopsi dari bible juga, pantes aja banyak kritiknya